Pada Batinnya Silek Minangkabau Mencari Tuhan
Oleh Yudhi Andoni
Ilustrasi orang Minangkabau main pencak silat. Foto Commons Wikimedia
Ilustrasi orang Minangkabau main pencak silat. Foto Commons Wikimedia

Pada batinnya silek, pencak silat tradisional Minangkabau, mencari Tuhan. Sementara pada lahirnya Silek Rang Awak ini mencari kawan.

Bagi orang Minang Silek dengan pencak berbeda level. Pencak (silat) merupakan mainan anak nagari. Anak nagari memainkan pencak silat kala waktu senggang, semisal selesai panen di sawah-sawah kering atau kala ada keramaian. Biasanya pencak silat orang mainkan di tanah lapang.

Permainan pencak silat mendapat riuh tepuk tangan para penonton. Adu tangkap. Adu lepas kunci-kunci. Adu kecepatan tangan dan kaki. Semua itu pesilat peragakan.

Pencak silat juga menjadi inti permainan randai. Randai merupakan salah satu permainan tradisional orang Minangkabau yang memadukan drama, pencak silat, dan nyanyian. Umumnya para pemain randai sangat pandai berpencak silat, namun sedikit dari mereka yang mumpuni silek.

Silek berbeda dengan silat menurut para tetua atau lebai. Lebai merupakan sebagian sebutan mereka yang menjadi mahaguru Silek. Mereka biasanya cenderung kalem, memakai celana longgar di atas mata kaki. Dan jangan coba-coba menggugah mereka dengan ayunan tangan bila tak ingin siku atau kaki mereka tiba-tiba menyelusup ke rusuk kita secara tiba-tiba dan kilat.

Beberapa tahun lalu penulis pernah mengadakan observasi seorang guru Silek di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Penulis mengenal beliau dari seorang kenalan sesama sesuku Chaniago. Tersebab sama-sama “orang Chaniago”, penulis pun satu hari ia ajak menemui guru tua Silek Langkah Tigo.

Tubuh guru tua ini terlihat ringkih. Ia punya kumis melintang. Kasar. Sehari-hari ia memakai baju hitam dengan penutup kepala dari kain juga berwarna hitam. Bila ke mana-mana beliau jarang memakai sandal. Kesukuannya adalah kopi hitam pahit dan rokok kretek.

Pada pertemuan pertama tak ada kesan mendalam dengan postur dan gestur Lebai Tua ahli Silek Langkah Tigo ini. Ia tak ubahnya seorang petani biasa yang berladang jagung, kadang padi kering di kaki Gunung Talang. Kala penulis bertemu ia tersenyum besar sembari bertanya-tanya soal penulis dan suku. Beliau ternyata “Orang Chaniago” juga.

Pada malam pertama bertemu beliau di rumahnya, kami cuma cerita-cerita ringan saja. Ia sedikit menyinggung soal keengganan anak-anak sekarang belajar Silek. Kalau yang banyak itu pencak, bunganya Silek, jelas beliau. Belajar Silek itu yang penting ada pada pengolahan batin, tutur beliau. Nah, Silek yang mengolah batin ini yang lama, dan membosankan bagi anak-anak muda kini, sambungnya.

Sepulang dari rumahnya, Lebai Tua itu minta penulis membawa satu ekor ayam jantan masih muda. Katanya kita balanjuang, makan bersama nanti. Tanpa pikir jauh, satu minggu kemudian penulis pun datang kembali membawa pesanan beliau.

Rupanya ketika penulis sampai ke rumah Lebai Tua itu telah hadir pula sekira tiga orang anak muda yang usianya sepadan siswa SMP dan SMA. Mereka juga tampak menenteng satu ekor ayam jantan seperti penulis.

Ayam-ayam kami pun dibawa ke dapur, dan dimasak menjadi gulai. Saatnya makan telah terhidang gulai ayam dengan 4 porsi kepala terhidang ke depan pinggan Labai Tua. Kami pun dengan lahap segera makan. Penulis pun tandas tiga pinggan nasi. Maklum hari dingin, nasi panas dengan gulai ikan yang harum, membuat lambung jadi terbuka untuk diisi semaksimal mungkin.

Pada sela-sela asyik mengoyak daging ayam yang kami bawa, entah bagaimana cara memasaknya, terasa lembut. Penulis perhatikan Lebai Tua itu. Ia tak makan nasi. Beliau membuka masing-masing tulang kepala ayam. Setelah tampak olehnya tengkorak kepala ayam masing-masing dari kami, beliau pun mengangguk-anggukan kepala.

Acara balanjuang kami selesai jam 11 malam. Satu persatu anak-anak muda yang datang tadi menyampaikan maksud hatinya. Mereka semua ingin belajar ilmu Silek pada Lebai Tua itu.

Beliau pun menyanggupi, dan mengalihkan pertanyaannya pada penulis. Apakah penulis juga ingin belajar? Jauh-jauh dari Padang, sayang kalau tak mau belajar warisan orang-orang tua lama kita di Ranah Minangkabau ini, bilang beliau.

Ilustrasi pemain Pencak Silat dalam Randai. Foto Commons Wikimedia.
Ilustrasi pemain Pencak Silat dalam Randai. Foto Commons Wikimedia.

Penulis pun menilai tak ada salahnya, kebetulan kala itu setiap minggu ke Solok juga mengunjungi saudara jadi bisa mengikuti pelatihan Silek bersama Lebai Tua. Akhirnya kami menyepakati kalau latihan Silek sepekan sekali, tiap hari sabtu malam, sekira jam 10 malam. Kami pun pulang setelah balanjang.

Ketika pulang ke rumah saudara, ia pun mengatakan kalau penulis beruntung. Jarang Lebai Tua mau menerima orang dari luar nagarinya belajar Silek. Tadi ia dibisikkan Lebai Tua kalau hasil pembacaannya melalui kepala ayam tadi, hanya penulis yang memenuhi syarat belajar Silek. Lainnya tak akan tahan belajar. Jadi Lebai Tua pesan agar penulis rajin-rajin datang dan tabah dalam belajar.

Sekira hampir dua tahun penulis bersama Labai Tuo. Selama itu, penulis lebih banyak belajar ilmu batin, dalam artian belajar filosofi Silek. Sementara saudara sepeguruan lain belajar pencak dalam artian gerakan-gerakan kuncian, elak, sepak, dan buka kunci. Pada malam-malam ketika saudara perguruan tidak datang, Lebai Tua tak ada mengajarkan gerakan-gerakan silek.

Beliau justru melatih penulis dengan ilmu roso, kata orang Jawa. Bersilat dalam batin. Sulit dan sangat sukar. Bersilat dalam batin mengajarkan pertarungan dengan lawan melalui pengendalian diri dari menyakiti sembari berpasrah diri pada Tuhan Allah yang Satu. Barangsiapa yang sedikit saja berniat buruk menyakiti lawan di tengah sasaran/ lapangan, maka ia akan binasa.

Lebai Tua meminta penulis, tanpa sepengetahuan saudara seperguruan lain, membawa kain putih satu kabuang (sekitar 1,6 meter), pisau, jarum penjahit, dan benang. Semua itu sebagai syarat keikhlasan bila pada saat Silek batin tiba-tiba pisau itu bersarang di tubuh penulis, maka ayah-bunda merelakan kematian anaknya. Mati yang tersebab niat yang berubah, dan kain putih, benang, dan jarum akan jadi kain kafan penulis.

Lebai Tua sebelum membimbing penulis memasuki level Silek (tuo), ia pun menyampaikan beberapa inti ajarannya Silek Langkah Tigo yang ia warisi dari gurunya beberapa puluh tahun lalu. Salah satu yang masih penulis ingat adalah ber-Silek itu pada lahirnya mencari kawan, namun pada batinnya mencari Tuhan.

Jadi ketika waang bergerak, mengelak, menyepak, sesungguhnya semua itu dalam tiga langkah utama. Nan pertama langkah Muhammad. Yang kedua langkah Bagindo Rasulullah. Adapun nan ketiga ialah langkah Allah.

Inilah langkah tertinggi. Maka dari itu, Silek Langkah Tigo ini tak bisa sembarang orang diwariskan ke orang lain kecuali di hatinya selalu ingat ke nan satu. Orang yang kena Silek Langkah Tigo cuma dua pilihan; patah atau mati!

Penulis angguk-angguk mencoba meresapi ucapan Lebai Tua itu. Jam 1 malam selesai paparan filosofi Silek Langkah Tigo. Minggu depan penulis janji akan datang lagi. Namun langkah penulis ternyata berbelok arah.

Tak berapa lama Reformasi 1998 meledak. Kami mahasiswa masyuk pada demonstrasi menurunkan Suharto. Sampai hari ini, entah bagaimana kabar Lebai Tua. Penulis tak bertemu lagi dengan beliau selama 30 tahun lebih.

https://kumparan.com/sejarah-rancak/pada-batinnya-silek-minangkabau-mencari-tuhan-21DG2AQuNuO

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations