Bangkitnya Dinasti Politik Jokowi
Telah muncul kebangkitan dinasti politik teranyar di republik ini: dinasti Jokowi. Trah ini menancapkan kuku dengan kecepatan luar biasa: hanya dalam 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo. #kumparanNEWS

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan syarat capres-cawapres memungkinkan Gibran Rakabuming Raka melaju ke Pilpres 2024. Namun, terlepas dari jadi atau tidaknya ia maju cawapres, sejak beberapa waktu lalu sesungguhnya telah muncul tanda kebangkitan dinasti politik teranyar di republik ini: dinasti Jokowi. Trah ini menancapkan kuku dengan kecepatan luar biasa: hanya dalam 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo.

***

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto mengajak Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep bersantap malam di rumahnya, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, usai silaturahmi sekaligus kunjungan balasan PSI ke Gerindra, Kamis, 12 Oktober 2023.

Kaesang yang sedang berpuasa mengiyakan ajakan Prabowo. Jadilah menu buka puasa Kaesang hari itu nasi daun jeruk dan rendang. Perjamuan berlangsung hangat. Kaesang dan Prabowo terlihat akrab.

Agar pertemuan kedua elite parpol makin asyik, Prabowo mengundang salah satu calegnya yang juga penyanyi senior, Melly Goeslaw, untuk ikut menyemarakkan suasana. Melly pun meyanyikan lagu dalam bahasa Sunda dengan lirik yang di-custom untuk Koalisi Indonesia Maju, sementara Prabowo dan Kaesang—meski malu-malu kucing—turun berjoget.

Persamuhan politik Kaesang dan Prabowo di Kertanegara itu amat mungkin disusul dengan kerja sama PSI dan Gerindra. Terlebih, Prabowo kemudian mengundang Kaesang untuk berkunjung ke kediaman pribadinya yang lebih luas dan privat di Hambalang, Kabupaten Bogor, guna menggelar pertemuan lanjutan.

Prabowo Subianto dan Kaesang Pangarep di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA
Prabowo Subianto dan Kaesang Pangarep di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA

Bila Kaesang jadi bertamu ke Bukit Hambalang, maka ia mengikuti langkah kakaknya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang telah lebih dulu menyambangi kediaman spektakuler Prabowo seluas hampir 5 hektare yang dilengkapi arena pacuan kuda, lapangan sepak bola, hingga helipad itu.

Gibran berkunjung ke Hambalang pada Sabtu, 18 Juni 2022. Di sana, Prabowo menyuguhkan pelbagai hidangan, dan mengajari Gibran berkuda. Prabowo juga menyarankan agar Gibran memantapkan karier politiknya dengan maju ke Pilgub DKI Jakarta atau Pilgub Jawa Tengah 2024.

“Ada banyak [wejangan politik] yang bersifat rahasia dan tertutup,” kata Gibran sehari usai silaturahmi politik itu.

Ketika itu, isu duet Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 mulai beredar, namun keduanya tak bicara apa-apa soal itu. Meski demikian, Gerindra sejak awal menyanjung kinerja Gibran.

“Mas Gibran ini prototipe pemimpin di pemerintahan. Ciri pemimpin muda itu punya inovasi, kreasi, dan selalu membuat kemajuan… Mas Gibran salah satunya,” ujar Sekjen Gerindra Ahmad Muzani di Balai Kota Solo, April 2022, dua bulan sebelum pertemuan Prabowo-Gibran di Hambalang.

Prabowo ajari Gibran berkuda di Hambalang. Foto: Dok. Tim Media Prabowo
Prabowo ajari Gibran berkuda di Hambalang. Foto: Dok. Tim Media Prabowo

Setahun belakangan, Prabowo memang makin dekat dengan Gibran. Kini pun dengan Kaesang. Ia tampak nyaman bersama dua putra Jokowi itu. Sekilas, Prabowo bak punya peran dalam kebangkitan dinasti politik Jokowi.

Jabatan Politik untuk Anak dan Mantu Jokowi

Dalam dua periode kepemimpinan Jokowi, 2014–2019 dan 2019–2024, anak dan menantunya ikut terjun ke jagat politik dan berhasil memangku jabatan, baik sebagai kepala daerah maupun pemimpin parpol.

Sang putra sulung, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai Wali Kota Solo sejak Februari 2021 usai memenangi Pilkada Solo 2020. Ia dan wakilnya yang telah malang melintang di perpolitikan dan pemerintahan, Sekretaris DPC PDIP Solo dan mantan anggota DPRD Solo Teguh Prakosa, diusung 9 partai yang dimotori PDIP.

Dukungan politik sebesar itu nyaris mutlak. Tak heran Gibran-Teguh menang telak dengan perolehan suara 86,5% berdasarkan rekapitulasi KPU. Gibran yang berlatar belakang pebisnis kuliner lulusan Management Development Institute of Singapore dan University of Technology Sydney itu pun meneruskan jejak ayahnya: memerintah Solo.

Gibran Rakabuming dan wakilnya, Teguh Prakosa, usai dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo. Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA
Gibran Rakabuming dan wakilnya, Teguh Prakosa, usai dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo. Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA

Pada saat bersamaan, Februari 2021, menantu Jokowi yang baru dua tahun lulus program pascasarjana Fakultas Manajemen dan Bisnis IPB, Muhammad Bobby Afif Nasution, juga dilantik sebagai kepala daerah.

Bobby Nasution yang berlatar belakang industri real estate berhasil menduduki kursi Wali Kota Medan setelah memenangi Pilkada Medan 2020. Ia dan wakilnya, kader Gerindra Aulia Rachman, mengantongi 53,45% suara.

Seperti Gibran-Teguh, Bobby-Aulia didukung rombongan besar kekuatan politik yang terdiri dari 8 parpol, termasuk PDIP dan Gerindra. Seperti Gibran pula, Bobby maju berpasangan dengan figur yang lebih berpengalaman di dunia politik. Aulia merupakan Sekretaris Gerindra DPD Sumatera Utara dan eks anggota DPRD Medan.

Bobby Nasution didampingi Kahiyang Ayu saat hendak dilantik menjadi Wali Kota Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Bobby Nasution didampingi Kahiyang Ayu saat hendak dilantik menjadi Wali Kota Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan

Terakhir, baru-baru ini, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ikut menceburkan diri ke jagat politik dengan bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia, dan langsung didapuk menjadi ketua umumnya.

Satu lagi kerabat Jokowi yang punya peran tak kalah penting meski bukan di perpolitikan ialah iparnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Anwar menikahi adik Jokowi, Idayati, pada Mei 2022. Suami terdahulu Idayati telah meninggal pada 2018 karena stroke. Sementara istri Anwar yang sebelumnya juga meninggal pada 2021.

Kini, Anwar pula yang memimpin sidang putusan atas gugatan UU Pemilu terkait usia minimal capres-cawapres, Senin, 16 Oktober 2023. Sidang ini merupakan penentuan apakah Gibran—yang kini berusia 36 tahun—dapat maju sebagai cawapres di Pilpres 2024, sebab aturan saat ini membatasi umur capres-cawapres di usia 40 tahun.

Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan batas usia capres-cawapres, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan batas usia capres-cawapres, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Orkestra Apik di Ujung Jabatan

Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan, dinasti politik Jokowi resmi terbentuk dengan terjunnya Gibran, Bobby, dan Kaesang ke jagat politik.

“Dinasti itu artinya satu keluarga memegang kekuasaan pada saat bersamaan di sejumlah tempat (posisi), dan itu berhubungan satu sama lain. Jokowi kan presiden, sedangkan wali kota (jabatan Gibran dan Bobby) secara ketatanegaraan adalah bawahan presiden,” kata Djayadi kepada kumparan, Jumat (13/10).

Meski dinasti politik di Indonesia bukan barang langka, termasuk di daerah-daerah seperti dinasti Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan yang berlangsung tiga turunan, namun kebangkitan dinasti Jokowi saat ini memiliki nuansa berbeda.

Perbedaan pokok misalnya terlihat dari skala dan durasi terbangunnya dinasti. Bila tokoh-tokoh politik sebelum ini cenderung mewariskan jabatan politik ke anak cucunya dalam periode panjang dan antargenerasi, Jokowi hanya butuh waktu 10 tahun dalam dua periode pemerintahannya. Itu pun bukan hanya di tingkat daerah, melainkan di pusat.

Belum juga Jokowi “turun takhta”, putranya—Gibran—telah didorong menjadi wakil presiden. Hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Megawati saja membutuhkan jeda waktu sekitar setengah abad untuk menjadi Presiden RI setelah ayahnya, Soekarno, lengser.

Soekarno turun dari kursi presiden pada 1967, sedangkan Megawati naik ke tampuk kekuasaan pada 2001. Ada 54 tahun terentang di antara keduanya.

Megawati Soekarnoputri berpidato saat peringatan haul Soekarno di Blitar, Jawa Timur. Foto: ANTARA/rfan Anshori
Megawati Soekarnoputri berpidato saat peringatan haul Soekarno di Blitar, Jawa Timur. Foto: ANTARA/rfan Anshori

“Kalau terkait Pilpres, belum pernah ada anak presiden jadi cawapres. Anak-anak Megawati dan SBY kan enggak,” kata Djayadi.

Singkatnya, Jokowi terlihat amat gesit dalam membangun dinasti politik. Berdasarkan amatan Adi Prayitno, pakar politik UIN Syarif Hidayatullah, Jokowi dapat merancang “orkestra” sedemikian apik dengan bersandar pada jabatan dan pengaruhnya sebagai Presiden RI.

Alih-alih mengakhiri masa jabatannya dengan tenang dan kembali jadi orang biasa, Jokowi dinilai menggunakan ujung kepemimpinannya untuk merancang rencana jangka panjang guna membuatnya tetap berperan signifikan dalam lingkaran RI 1.

Tanpa skenario yang mumpuni, Jokowi bisa dibilang “bukanlah siapa-siapa” di percaturan politik Indonesia. Ia bukan tokoh elite parpol apalagi ketua umum partai seperti Megawati dan SBY yang punya partai sendiri. Selama ini, Jokowi pun lebih dikenal sebagai “petugas partai”—istilah yang berulang kali ditekankan Megawati kepadanya sebagai kader PDIP.

“Kalau sudah tidak jadi presiden, Jokowi tidak punya power untuk mengorkestrasi dan mendesain kekuatan politik keluarga besar,” kata Adi, Minggu (15/10).

Jokowi, Gibran, dan Kaesang, dan Iriana di Yogya. Foto: Youtube/Presiden Joko Widodo
Jokowi, Gibran, dan Kaesang, dan Iriana di Yogya. Foto: Youtube/Presiden Joko Widodo

Dari gerak-gerik politik Jokowi, Adi menduga sang Presiden sedang memperkuat PSI yang kini dipimpin putra bungsunya. Jokowi juga menjalin hubungan baik dengan koalisi Prabowo yang kini mendapat dukungan dari Projo, relawan darat terbesar Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019.

“Rakernas VI Projo menjadi langkah awal bagi Projo dan seluruh relawan yang tergabung di dalamnya menuju kemenangan Pak Prabowo di Pilpres 2024. [...] mesin politik Projo, dari pusat sampai daerah, bekerja sama dengan komponen tim pemenangan Pak Prabowo Subianto di seluruh Indonesia.”
- Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo

Soal PSI, Adi membaca bahwa “PSI kini diseriusi sebagai parpol yang membangun ideologi jokowisme.” Bagi PSI, Jokowisme adalah “manifestasi gagasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mewakili semangat zaman.”

PSI menyanjung Jokowi sebagai tokoh yang “muncul dengan cara otentik dan mengalahkan para elit politik lewat proses demokratis dari bawah.” Jokowi, tutur PSI, “berhasil mendobrak tradisi kekuasaan yang selama ini didominasi elit. [...] seorang presiden yang bukan ketua umum partai berhasil mengelola kekuasaan dalam sistem multipartai yang rumit.”

PSI juga memuji Jokowi sebagai perwujudan The Indonesia Dreams—mencuplik metafora The American Dreams yang merupakan gagasan bahwa semua orang, terlepas dari strata sosialnya, bisa sukses dengan bekerja keras.

“Jokowi adalah presiden yang tumbuh dari bawah, berjuang sejak kecil untuk mendapat pendidikan, dan merintis karir sebagai pengusaha furnitur kecil sebelum akhirnya masuk politik dan dipilih rakyat sebagai presiden,” papar PSI soal konsep Jokowisme yang mereka gembar-gemborkan.

Elite PSI, Grace Natalie dan Giring Ganesha, menemui Jokowi di Istana. Foto: Instagram/@gracenat
Elite PSI, Grace Natalie dan Giring Ganesha, menemui Jokowi di Istana. Foto: Instagram/@gracenat

Senada dengan Adi, Djayadi juga melihat sikap dan langkah politik yang dipertontonkan Jokowi saat ini adalah upaya agar ia tetap punya kekuatan dan pengaruh meski tak lagi menjabat presiden.

“Dia punya peluang lebih besar kalau ada keluarganya yang memegang posisi penting dalam pemerintahan. Karena menjadikan Gibran sebagai presiden belum bisa, belum kuat, maka Gibran sebagai cawapres. [Dengan begitu] peran [politik Jokowi di masa] akan datang lebih terjamin,” ujar Djayadi.

Itu bila Gibran benar-benar jadi cawapres. Namun, bila tidak pun, putra-putra dan mantu Jokowi sudah punya cukup modal politik untuk meneruskan karier politiknya.

Bangkitnya Dinasti Politik Jokowi. Ilustrasi: kumparan
Bangkitnya Dinasti Politik Jokowi. Ilustrasi: kumparan

Pengaruh dan Popularitas Jokowi Jadi Fondasi

Djayadi memandang ada dua faktor yang mendukung begitu cepatnya dinasti politik Jokowi terbangun, yakni 1) relawan loyal dan 2) tingkat kepuasan publik/approval rating yang tinggi di periode kedua kepemimpinannya. Dengan kata lain: pengaruh dan popularitas.

Sampai saat ini, Jokowi masih memiliki banyak kelompok relawan yang tersebar di berbagai daerah. Beberapa di antaranya yang populer antara lain Pro Jokowi (Projo), Jokowi Mania (Joman), Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), dan Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi).

Yang menarik, sebagian dari kelompok relawan itu kini telah mengumumkan dukungannya untuk Prabowo. Tak cuma Projo, tapi juga Joman yang bertransformasi menjadi Prabowo Mania, dan Samawi yang menyambangi langsung kediaman Prabowo. Terpisah, Bara JP menyatakan dukungannya untuk Gibran sebagai cawapres, siapa pun presidennya.

Ketua DPP Projo Budi Arie Setiadi menyerahkan bendera relawan Projo kepada Prabowo Subianto di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Sabtu (14/10/2023). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA
Ketua DPP Projo Budi Arie Setiadi menyerahkan bendera relawan Projo kepada Prabowo Subianto di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Sabtu (14/10/2023). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA

Selama ini, Jokowi memang memelihara relawannya dengan sangat baik. Tidak sedikit relawan, termasuk tim pemenangannya, yang kini mendapat kursi penting di lingkaran pemerintahan, baik di jajaran menteri atau pimpinan BUMN.

Sikap royal ini pada gilirannya membuat sebagian relawannya terus loyal. Itulah yang menurut Djayadi tidak dimiliki presiden-presiden terdahulu.

“SBY misalnya tidak punya struktur relawan seperti Jokowi yang mendukung secara partisan dan kuat,” ujarnya.

Hal itu didukung oleh tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap Jokowi. Survei LSI menunjukkan approval rating terhadap kinerja Jokowi pada periode kedua ini mencapai 80%, naik dibanding pada periode pertamanya di angka 60–70%.

Artinya, Jokowi masih dipandang masyarakat umum sebagai pemimpin yang baik. Hal ini pula yang membuat banyak parpol masih “mendekat” padanya.

“[Sebagian parpol] menggunakan Jokowi sebagai pendorong mereka. Seperti yang sekarang terjadi: berebut endorsement Jokowi. Jadi bukannya berebut memisahkan diri dari Jokowi,” terang Djayadi.

Bahkan, lanjutnya, kandidat capres yang sudah jelas berada di sisi oposisi seperti Anies Baswedan juga terlihat agak ambigu ketika dihadapkan pada sikapnya terkait pembangunan era Jokowi.

Jokowi bersama keluarga naik andong berkeliling Jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (7/1/2023). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Jokowi bersama keluarga naik andong berkeliling Jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (7/1/2023). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Predikat “keluarga Presiden Jokowi” pun tak pelak menguntungkan bagi anak dan mantu Jokowi. Itu pula yang membuat mereka memenangi dua pilkada di wilayah berbeda. Dalam survei pra-Pilkada 2020 yang digelar Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi Surakarta pada 2019 misalnya, Gibran menang telak dari sisi popularitas.

Bobby Nasution yang semula diragukan pun nyatanya berhasil memenangi Pilkada Medan. Kunci keberhasilan Bobby, menurut Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Warjio, salah satunya karena pengaruh sang mertua.

“Jejaring kekuasaan yang dimiliki Presiden Jokowi mengalahkan semua,” ujarnya.

Jokowi jelas memecahkan rekor soal dinasti politik dibanding para pendahulunya. Saat Megawati dan SBY masih menjadi presiden, tidak ada satu pun anak-anak mereka yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Puan Maharani baru menjabat sebagai Ketua DPR 15 tahun setelah masa jabatan Megawati sebagai presiden berakhir, dan pertama kali menjadi anggota DPR 10 tahun sebelumnya.

Sementara itu, meski putra bungsu SBY, Ibas Yudhoyono, menjadi anggota DPR di masa pemerintahan ayahnya, sejak saat itu sampai saat ini ia tidak memegang jabatan eksekutif apa pun. Begitu pula dengan kakaknya, AHY, yang baru-baru ini batal menjadi cawapres Anies.

Jusuf Kalla, salah satu tokoh yang tidak memiliki dinasti politik. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Jusuf Kalla, salah satu tokoh yang tidak memiliki dinasti politik. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Tentu tidak semua tokoh politik ingin membangun dinasti. Jusuf Kalla, wakil presiden periode kedua SBY dan periode pertama Jokowi, misalnya berpendapat bahwa hubungan kekeluargaan bisa menganggu proses politik karena mengandung potensi benturan kepentingan.

“[Dinasti politik] itu menyebabkan kekalutan. Banyak kepentingan [berbenturan], ya kepentingan politik, kepentingan keluarga. Akhirnya tidak terjadi proses politik yang baik.”
- Jusuf Kalla

Sementara itu, organisasi sayap Gerindra, Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) menampik tudingan bahwa Gerindra memfasilitasi bangkitnya dinasti politik Jokowi. Menurut mereka, tuduhan dinasti politik terlalu berlebihan.

“Memangnya nggak boleh ada kesempatan bagi seseorang [jadi calon pemimpin]? Di Amerika saja, anak Bush senior juga jadi presiden. Di sini masak dilarang?” kata Ketua Satria Bambang Hariyadi yang juga anggota DPR dua periode dari Gerindra.

“Kalau memang dinasti, ya sekalian dibuat sistem [jabatan] turun-temurun, nggak perlu nyalon cawapres. Buktinya, di daerah-daerah juga ada anak kepala daerah yang enggak terpilih karena kinerjanya kurang. Jadi, bagi yang menentang, ya nggak usah pilih karena itu hak politik masing-masing,” tutup Bambang.

https://kumparan.com/kumparannews/bangkitnya-dinasti-politik-jokowi-21ONYp2kZTj

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations