Di Balik Romantisme Revolusi 45 dan Keharusan Historis
Oleh Bagus Adil
Pengibaran bendera usai Proklamasi dibacakan. Foto: ANRI
Pengibaran bendera usai Proklamasi dibacakan. Foto: ANRI

Tugas pertama seorang revolusioner adalah mendidik, maka aku rasa peran tersebut sudah sepatutnya diemban oleh mahasiswa sebagai intelektual muda yang konon katanya mereka idealis dan selalu memperjuangkan keadilan.

Patut diingat bahwa ijazah suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang. Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati.

Perlu kita ketahui bahwa nasionalisme kita berangkat dari amanah penderitaan rakyat. Tak akan pernah ada kata final untuk merdeka, sejatinya tolok ukur kemerdekaan sama dengan konsep bangsa yang akan selalu terus berevolusi. Berubah secara dinamis sesuai dengan keadaan zaman dan bagaimana sudut pandang seseorang dalam melihat sebuah permasalahan yang membelenggu kemerdekaan perorangan hingga publik.

Memenangkan manusia inti daripada semua itu, sebagaimana bunyi sila ke-2 Pancasila 1 Juni 1945 “internasionalisme” (perikemanusiaan) maka nasionalisme kita tidak akan pernah tumbuh subur jika tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme “perikemanusiaan”.

Apakah akan ada evolusi bentuk Indonesia? Ada. Tapi belum untuk hari ini, ia akan berubah jika berbagai macam faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut memungkinkan. Namun jika dipaksakan secara radikal hanya akan terjadi disintegrasi bangsa hingga yang paling ekstrem yaitu balkanisasi.

Seyogyanya diperlukan sebuah nasionalisme yang tulus yang berani melakukan yang terbaik untuk bangsa dalam jangka panjang, bukan yang terpancing emosi sesaat.

Alkisah, dahulu pada masa penjajahan Belanda ada seorang anak laki-laki berusia 10 tahun bernama Ahmad yang kerap kali ia diludahi oleh anak-anak Belanda karena ia seorang bumiputera atau pribumi. Pernah suatu ketika Ahmad diludahi. Ia menangis.

Lalu datanglah seseorang untuk mengeringkan air matanya dan menguatkan hatinya dengan kata-kata: “Ahmad, negeri ini kita yang punya. Di satu waktu kita akan menjadi tuan di negeri kita sendiri. Di satu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan kita, bukan menurut yang diperintahkan kepada kita. Jangan khawatir!

Begitu juga dalam hal pendidikan walaupun mereka (anak Indonesia) mencurahkan tenaga dan waktunya dengan sungguh-sungguh kepada pelajaran. Nilai yang didapat oleh anak-anak Belanda pasti lebih tinggi daripada yang diterima oleh anak Indonesia.

Indikator penilaian diukur dengan angka. Angka 10 yang tertinggi dan angka 6 adalah batas nilai cukup dan inilah kebanyakan yang diterima oleh mereka.

Mereka memiliki sebuah sindiran mengenai angka-angka ini: “Angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk professor, angka delapan untuk anak yang luar biasa, tujuh untuk Belanda dan enam untuk kami.”

Kemudian dalam hal ekonomi Indonesia terkenal sebagai koloni Belanda yang kaya-raya dan menduduki tempat pertama dalam ekspor karet (lebih kurang 400.000 ton per tahun).

Dan tempat kedua dalam ekspor gula (rata-rata 120.000 ton per tahun) pada akhir tahun 1930-an produksi hasil-hasil pertanian. Perkebunan merupakan bagian terbesar dari produk domestik bruto (GDP), di mana Belanda selama berabad-abad telah memperoleh bagian yang sangat lumayan bagi Produk Nasional Bruto (GNP) mereka.

Dari sisi ekonomi Indonesia memang sangat penting bagi perekonomian Belanda dan juga bagi penempatan tenaga dan modalnya. Tidaklah mengherankan apabila sekelompok orang Belanda sangat menentang penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, mengucapkan slogan “indie verloren, rampspoed geboren” yang kalau diterjemahkan yakni “Indonesia merdeka, Belanda celaka”.

Menurutku sejarah masa lalu bangsa ini inheren dan sangat relevan untuk menggugah kembali kesadaran akan kemartabatan kita dalam berbangsa dan bernegara. Bukankah kemerdekaan Indonesia memang mengemban paham kebangsaan dan paham kerakyatan?

Paham kebangsaan menuntut kita mengemban nasionalisme dan patriotisme, mengidamkan diri sebagai bangsa yang bersatu, berjaya, dan digdaya. Sedangkan paham kerakyatan mengemban diktum “takhta untuk rakyat”, mewajibkan kita mengangkat harkat dan martabat rakyat dan melepaskan rakyat dari subordinasi. Kalau dalam bidang ekonomi dan sosial yakni subordinasi ala cultuurstelsel dan koeliestelsel.

Barangkali kita perlu memberikan penegasan bahwa pernyataan kemerdekaan adalah suatu pernyataan kemandirian. Dari kemandirian itulah kita dapat menyatakan diri sebagai berdaulat.

Lebih lanjut aku ingin menegaskan pula bahwa pernyataan kemerdekaan adalah suatu “pernyataan budaya” yaitu suatu pernyataan pola pikir baru bahwa kita bukan lagi bangsa terjajah sebagai koelie di negeri sendiri, bahwa kita mengubah diri menjadi tuan di negeri sendiri.

Kemudian kita menegaskan cita-cita nasional kita (dalam konstitusi) untuk mendirikan pemerintahan negara yang “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sebagai keberdaulatan penuh.

Lebih dari itu ditegaskan pula bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan”. Disusun artinya tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai kehendak dan selera pasar bebas, tidak menyerahkan diri pada the invisible hand-nya Adam Smith, melainkan dengan tegas dan mengatur, menata, dan mendesain perekonomian nasional kita dengan the visible hand-nya negara, yang artinya harus sesuai dengan makna pernyataan kemerdekaan dan kehendak cita-cita nasional kita.

Maka berangkat dari sinilah kita dapat berdaulat sepenuhnya. Tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi berdaulat juga dalam pendidikan, kebudayaan, teknologi, politik luar negeri dan sebagainya, namun hal ini tak akan terlaksana tanpa adanya semangat gotong-royong.

Untuk gotong-royong dalam hal meyelamatkan orang jatuh dari pohon kelapa bangsa ini sudah teruji namun dalam hal gotong royong untuk kemajuan bersama. Sugih bareng, pinter bareng, waras bareng. Kita masih belum teruji.

Hal inilah yang akan menjadi tantangan bagi bangsa ini ke depan. Alangkah indahnya jika amanah penderitaan rakyat itu dipercikkan ke dalam gotong-royong. Yaitu semangat, hakikat dari bekerja bersama, hidup bersama, dan saling bantu-membantu. Tanpa exploitation de l’homme par l’homme.

Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Kalau semua itu dicampurkan, maka hasilnya adalah sosialisme ala Indonesia menurut Sukarno.

Masyarakat berkeadilan sosial datang lambat laun dengan sendirinya menurut evolutie theori. Suatu keharusan historis. Mau tidak mau dengan sendirinya masyarakat bertumbuh, berkembang, berbangkit ke arah sosialisme.

Sosialisme Indonesia berbeda dengan sosialisme ala soviet dan tiongkok. Mereka dipimpin oleh diktator proletar “dictatuur van het proletariat”. Sejatinya pemimpin bangsa ini tidak ditunjuk, tapi lahir. Lahir bukan dari rakyat. Pemimpin dilahirkan atas keringat, darah, air mata, luka dan segala hal yang tekun menimpanya. Karena pemimpin adalah rakyat itu sendiri.

https://kumparan.com/user-29072023021106/di-balik-romantisme-revolusi-45-dan-keharusan-historis-2114S9dqv3w

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations