Dilema Nelayan Lumpur: Industrialisme Justru Mempersempit Harapan-Kesempatan
Oleh Surya Al-Bahar
Ilustrasi kapal nelayan. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Ilustrasi kapal nelayan. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan

Sebagai warga Lumpur, Gresik, Nur Muhammad harus meneruskan perjuangan orang tuanya menjadi nelayan. Bagi warga sana, sementara ini nelayan adalah profesi yang bisa diandalkan untuk memenuhi hajat hidup keluarga. Mungkin bisa dua sampai lima tahun ke depan. Bisa juga lebih. Bergantung bagaimana perkembangan industri di sekitarnya.

Setiap hari, Nur—nama akrabnya—menyempatkan waktu pergi melaut. Ia tidak menghiraukan jika tiba-tiba datang angin kencang di lautan. Itu sudah biasa, yang penting ia melaut, kemudian pulang bawa uang untuk anak istri. Bagi nelayan sana, angin dan ombak sudah mereka anggap seperti sahabat. Setiap hari mereka bertemu.

Cuma kadang yang namanya sahabat, bisa tiba-tiba berubah jadi musuh atau bisa jadi penolong. Bersyukurnya, sahabat mereka adalah alam. Ia paling bisa mengerti dari pada manusia. Alam tahu bagaimana cara berterima kasih. Sedangkan manusia, sering tidak tahu cara berterima kasih. Makanya, hati manusia tidak bisa ditebak. Sifatnya fluktuatif. Sedetik baik, sedetik kemudian bisa jadi buruk.

"Di sini (Lumpur) setiap hari melaut, meskipun angin tidak pernah stabil," ungkapnya.

Selain seorang nelayan, Nur adalah ketua nelayan Balai Pesusu'an. Di balai itu, tercatat sekitar ada 200 anggota. Itu hanya satu balai, belum balai-balai lain. Kira-kira masih ada beberapa komunitas nelayan lagi. Satu kelurahan bisa ada beberapa komunitas. Tidak hanya satu. Komunitas itu gunanya untuk mengakomodasi para nelayan ketika mengalami kesusahan. Bisa kesusahan karena bahan bakar, penjualan ikan, atau sebagainya.

Letak geografis Lumpur, Gresik, memang tidak bisa ditinggalkan dari lingkaran industri. Daerah itu diimpit kepungan banyaknya industri di Gresik, dan notabenenya pabrik besar-besar. Bahkan di sana ada beberapa pelabuhan pribadi milik pabrik-pabrik itu.

Ada beberapa alasan kenapa industri pabrik sering membangun kawasan industrinya dekat dengan pantai. Hal tersebut agar mereka bisa lebih mudah mengembangkan industrinya dengan cepat, terutama soal pendistribusian barang masuk dan keluar lewat jalur laut.

Perluasan lahan juga semakin mudah, karena hanya tinggal reklamasi. Itu juga untuk mempermudah mereka membangun pelabuhan sendiri, agar tidak bergantung dengan pelabuhan milik negara. Akibatnya apa? Semakin sering mereka melakukan reklamasi, maka lahan mencari ikan untuk nelayan juga semakin sempit.

"Waktu dulu, di dekat sini saja sudah dapat ikan, tetapi sekarang malah tidak dapat sama sekali," jelasnya.

Para nelayan Lumpur juga dibuat bingung. Persoalannya, apabila mereka terlalu jauh mencari ikan, tentu mereka akan terkena operasi Polairud. Sehingga mau tidak mau model melaut mereka seperti ilegal. Padahal sudah jelas mereka melaut di wilayahnya sendiri.

"Bingung. Kalau terlalu jauh, nanti kena operasi Polairud," ceritanya.

Ancaman juga tidak hanya soal tangkapan. Keberadaan pabrik-pabrik di sana pula membuat kegelisahan para anak-anak muda Lumpur. Mereka dibingungkan dengan dua pilihan antara mempertahankan budaya nelayan atau justru ikut berkecimpung dalam dunia pabrik.

Ketua Karang Taruna Pangaskarto Ahmad Rofiq pun bimbang saat ditanya mengenai persoalan itu. Pasalnya secara pribadi Rofiq juga tidak ada kemampuan menjadi nelayan. Ia pun tercatat sebagai pegawai Petrokimia. Selain karena keadaan, tingkat ketertarikan pemuda pada profesi nelayan juga tambah menurun. Seringkali begitu, modernitas berhasil memengaruhi segalanya.

"Dulu saya pernah coba beberapa hari melaut, tapi ya tidak kuat juga," tuturnya.

Dari situ akhirnya ia memutuskan sebagai pekerja Petro yang tempatnya tak jauh dari tempat tinggalnya. Diperkuat lagi dengan semakin menurunnya hasil tangkapan laut. Nur sendiri yang mengatakan itu, hasil laut semakin hari semakin sedikit. Banyaknya laut yang direklamasi membuat lahan mencari ikan nelayan Lumpur semakin sedikit.

"Perbedaan pendapatan antara dulu dengan sekarang sangat jauh, hasilnya selalu menurun," kata Nur.

Soal bantuan juga dikeluhkan oleh mereka. Dengan besar dan status industri di sana, sangat tidak elok bila bantuan yang digelontorkan tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Para penduduk hanya diberi bantuan ketika akan diadakannya reklamasi. Semacam bantuan untuk menghibur sesaat.

Logikanya adalah, kenapa hanya saat reklamasi. Tentu ada pertanyaan besar. Jika bantuan diturunkan saat reklamasi, pastinya mereka tahu, dengan adanya reklamasi itu para nelayan dirugikan. Akhirnya ia pekewuh kemudian seolah-olah membantu. Tetapi nyatanya tidak.

Bahkan berdirinya koperasi milik Kartar Pangaskarto juga dipelopori dua industri itu. Ia tidak spesifik menyebut nama perusahaannya. Menurut Rofiq, dari dua perusahaan tersebut, hanya satu yang peduli.

"Satunya hanya ikut-ikutan peduli. Kami tidak dibina sama sekali," katanya.

Mirisnya, Koperasi Pangaskarto juga mendata para pemuda yang ingin bekerja di pabrik, tetapi setelah didata dan masuk ratusan nama, ternyata hanya diambil 10 persen dari total itu semua. Jadi nelayan tidak bisa menjamin. Jadi buruh pabrik pun juga sama.

"Paling yang diterima tidak sampai 10 orang," tandasnya.

Dari dua pilihan yang tidak bisa dipastikan itu membuat mereka jadi serba bingung. Usia muda yang seharusnya penuh semangat berinovasi, tetapi mereka malah disibukkan dengan pikiran-pikiran yang penuh keraguan akan masa depan.

Rofiq juga mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi tersebut. Sekarang mereka juga bimbang, dalam artian, meski mereka selalu dihiraukan, tapi saat ada kegiatan, mereka selalu meminta dana dari perusahaan-perusahaan itu. Hal tersebut dilakukan karena memang dana dari kelurahan tidak banyak.

"Kalau gak salah hanya sekitar Rp 1 juta," pungkasnya.

https://kumparan.com/ahmad-baharuddin-surya/dilema-nelayan-lumpur-industrialisme-justru-mempersempit-harapan-kesempatan-21TStEnZ2A7

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations