Kampus: Pabrik Pencetak 'Robot-Robot' Intelek Instan
Oleh Raihan Muhammad
Ilustrasi generasi robot. Foto: freedomnaruk/Shutterstock
Ilustrasi generasi robot. Foto: freedomnaruk/Shutterstock

Indonesia merupakan suatu bangsa yang lahir dan tumbuh dari kritik. Dalam sejarahnya, para founding father kita menggunakan kritik terhadap kolonialisme sebagai dasar perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan.

Mereka mengkritik penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh penjajah, serta membangun kesadaran nasional yang kuat di kalangan rakyat Indonesia—dengan menyingkirkan mental-mental penjajah dan sikap-sikap feodal.

Akan tetapi, hingga saat ini, mental-mental penjajah dan sikap-sikap feodal masih terus melekat di dalam diri bangsa Indonesia, termasuk dalam bidang pendidikan, khususnya kampus. Pada era sekarang, kampus terkesan sama dengan pabrik yang mencetak robot-robot intelek instan dalam kemasan plastik ditambah buku panduan pemakaian.

Perlu digarisbawahi, tujuan kampus semestinya bukanlah sebagai sarana untuk mencetak tenaga-tenaga robot yang dibutuhkan oleh industri. Namun, mirisnya, kini, kampus tak lebih cuma dijadikan sebagai tempat mencetak “robot-robot” yang mengatasnamakan manusia.

Kampus semestinya melahirkan manusia-manusia yang mempunyai jiwa merdeka dan memiliki keberpihakan terhadap kebenaran, bukan menghasilkan generasi robot yang cuma membebek dan bermental budak.

Ilustrasi generasi robot. Foto: Thongden Studio/Shutterstock
Ilustrasi generasi robot. Foto: Thongden Studio/Shutterstock

Kampus semestinya menjadi tempat di mana pemikiran kritis, kreativitas, dan nilai-nilai kemanusiaan ditanamkan dalam setiap individu. Kampus mesti mendorong mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang dunia, sosial, budaya, dan lingkungan sekitar mereka, sehingga menjadi peka terhadap sesama.

Ini adalah tempat di mana mahasiswa seharusnya diajak untuk merenungkan dan mempertanyakan nilai-nilai, norma, serta sistem yang ada dalam masyarakat—bukan cuma menyeragamkan pemikiran mereka.

Selain itu, kampus mesti mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada pengembangan karakter dan kepemimpinan. Pendidikan semestinya tidak cuma tentang akumulasi pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk individu yang punya integritas serta bertanggung jawab, etis, dan peduli kepada sesama.

Hari ini, bisa kita lihat output yang dihasilkan dari perguruan tinggi banyak manusia-manusia yang tidak berintegritas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.

Mahfud MD yang menyampaikan bahwa sebagian besar koruptor di Indonesia adalah individu yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana. Dari total jumlah koruptor sebanyak 1.200 orang, sekitar 87 persen atau sekitar 1.044 koruptor memiliki gelar sarjana.

Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu 2015-2019, terdokumentasikan 202 kasus korupsi dalam sektor pendidikan yang melibatkan 465 individu. Secara finansial, tindakan korupsi di perguruan tinggi tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp410,9 miliar, sebagaimana yang diungkapkan oleh data ICW.

Bayangkan, kampus yang selama ini digaung-gaungkan sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dan berisi intelektual, tetapi realitasnya menjadi gudang koruptor. Tempat yang diharapkan mampu membawa negara ke arah yang berkemajuan, tetapi malah menjadi sarang makhluk-makhluk feodal yang rakus.

Ilustrasi korupsi. Foto: Marko Aliaksandr/Shutterstock
Ilustrasi korupsi. Foto: Marko Aliaksandr/Shutterstock

Dalam hal ini, kampus semestinya membantu mahasiswa mengatasi mental-mental penjajah dan sikap-sikap feodal yang mungkin masih melekat dalam bangsa kita. Bukan malah melestarikan budaya usang ini, yang justru menghambat kemajuan.

Kampus juga mesti menjadi tempat mahasiswa diajarkan untuk menjadi warga yang aktif dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Ini mencakup pengembangan keterampilan sosial, kepemimpinan, dan empati.

Mahasiswa mesti didorong untuk melihat permasalahan di masyarakat sebagai peluang untuk berbuat baik dan membuat perubahan positif. Dengan demikian, kampus dapat memainkan peran yang lebih besar dalam membentuk generasi yang lebih sadar, kritis, dan berempati.

Masyarakat Indonesia bisa melepaskan diri dari pola pikir yang sekadar mengikuti arus dan mencetak "robot-robot" intelek instan. Sebaliknya, kampus semestinya menjadi wadah untuk menampung potensi setiap individu dapat berkembang sepenuhnya, membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Tulisan ini mencerminkan pemikiran penting dalam pendidikan yang diusulkan oleh beberapa filsuf. Pemikiran kritis dan nilai-nilai kemanusiaan yang ditekankan dalam teks sejalan dengan pandangan Paulo Freire dan John Dewey.

Mereka berpendapat bahwa pendidikan bukan cuma tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang mengembangkan pemikiran kritis yang membantu individu memahami dunia mereka dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Kemudian, penting juga untuk pengembangan karakter dan kepemimpinan dalam pendidikan mencerminkan konsep pendidikan moral oleh Lawrence Kohlberg dan Martin Seligman. Mereka berpendapat bahwa pendidikan mesti membantu individu mengembangkan nilai-nilai etis yang kuat, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.

Ide tentang kampus yang membantu mahasiswa mengatasi mental-mental penjajah dan sikap-sikap feodal berkaitan dengan teori pembebasan dan kesadaran yang dikemukakan oleh Paulo Freire. Freire melihat pendidikan sebagai alat untuk membebaskan individu dari penindasan dan mengembangkan kesadaran kritis tentang realitas sosial mereka.

Ilustrasi generasi robot. Foto: Vasilyev Alexandr/Shutterstock
Ilustrasi generasi robot. Foto: Vasilyev Alexandr/Shutterstock

Gagasan tentang mahasiswa yang diajarkan untuk aktif berkontribusi dalam pembangunan masyarakat mencerminkan pandangan pendidikan berorientasi pada pelayanan dan kontribusi sosial, seperti yang dikemukakan oleh John Dewey. Dewey melihat pendidikan sebagai proses sosial yang melibatkan partisipasi aktif dalam masyarakat.

Selain itu, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, pun sudah lama menyumbangkan konsep pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah serangkaian proses untuk memanusiakan manusia.

Menurutnya, konsep pendidikan mesti didasarkan pada prinsip kemerdekaan, yakni manusia dianugerahi kebebasan oleh Tuhan untuk mengelola kehidupannya sesuai dengan aturan masyarakat.

Oleh karena itu, mahasiswa semestinya punya jiwa merdeka dalam segala aspek, baik fisik maupun mental—bukan seperti robot. Ki Hajar Dewantara menentang sikap feodal terhadap anak didik karena hal tersebut dapat merenggut jiwa merdeka dan kreativitas mereka.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memanusiakan manusia dan didasarkan pada prinsip kemerdekaan sejalan dengan gagasan yang diungkapkan dalam tulisan ini. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya mengembangkan jiwa merdeka pada mahasiswa, bukan mencetak robot intelek tanpa jiwa.

Selain itu, konsep tri sentra pendidikan yang dianut oleh Ki Hajar Dewantara, yang melibatkan keluarga, perguruan, dan masyarakat sebagai satu kesatuan dalam pendidikan, mencerminkan pandangan bahwa pendidikan mesti berperan dalam membentuk individu yang bertanggung jawab, etis, dan peduli kepada sesama.

Pemikiran ini juga sesuai dengan pandangan Paulo Freire tentang pembebasan dan kesadaran dalam pendidikan, yang mana mahasiswa diajak untuk merenungkan dan mempertanyakan nilai-nilai serta sistem yang ada dalam masyarakat.

Ini semua mencerminkan pentingnya menjadikan pendidikan sebagai alat untuk membebaskan individu dari penindasan dan mengembangkan kesadaran kritis.

Ilustrasi generasi robot. Foto: AlesiaKan/Shutterstock
Ilustrasi generasi robot. Foto: AlesiaKan/Shutterstock

Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan gagasan dalam tulisan ini bersatu dalam tujuan yang sama: menciptakan generasi yang sadar, kritis, berempati, dan memiliki jiwa merdeka. Semua ini mengingatkan kita akan pentingnya peran kampus sebagai tempatnya nilai-nilai kemanusiaan, pemikiran kritis, dan pengembangan karakter menjadi fokus utama, bukan cuma mencetak robot intelek instan.

Jadi, sudah semestinya kampus tidak menitikberatkan cuma pada intelektualitas, tetapi juga harus mampu memanusiakan manusia dan mengimplementasikan konsep kemerdekaan yang telah lama dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.

Jika mahasiswa cuma dicetak untuk diseragamkan tanpa ada kemerdekaan dalam berpikir, bertindak, dan bersuara, maka apa bedanya mahasiswa dengan robot? apa bedanya kampus dengan pabrik yang mencetak produk?

Cepat atau lambat, jika kampus cuma memproduksi generasi-generasi roboto, maka peran mereka bisa saja digantikan oleh kecerdasan buatan (AI).

https://kumparan.com/raihan-muhammad/kampus-pabrik-pencetak-robot-robot-intelek-instan-21HBX0SFDfU

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations