Kegelisahan tentang Perbaikan Pendidikan
Oleh Renie Aryandani
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock

Kegelisahan mendasar saya terkait pendidikan adalah mengenai bullying, korupsi, privatisasi dan dampak turunan lainnya. Perlu saya garis bawahi kata “dampak turunan lainnya” karena ketiga kegelisahan tersebut melahirkan banyak masalah baru dengan penyelesaian yang tak bermula dan tak berakhir.

Tiap hari peserta didik di institusi pendidikan disuguhkan jargon, akan sangat sulit membedah masalah bullying, korupsi, apalagi privatisasi. Tak sampai pesimis juga, tapi saya merasa ini masalah besar yang mesti segera dibenahi secara masif.

Bullying atau lebih asing disebut perundungan adalah hal yang tak pernah lepas dari dunia pendidikan—khususnya sekolah negeri—karena persoalan cara pandang "primitif" soal keberagaman dan kelas sosial.

Mengutip data Programme for International Students Assessment (PISA), anak dan remaja di Indonesia mendapatkan pengalaman buruk paling banyak dihina sebanyak 22 persen, digosipkan kabar buruk sebanyak 20 persen, didorong sampai dipukul teman sebanyak 18 persen, dikucilkan sebanyak 19 persen, dan mengalami intimidasi sebanyak 15 persen.

Bayangkan mereka sepanjang hidupnya mesti dihantui pengalaman buruk tersebut, tanpa pemulihan dan jaminan ketidakberulangan yang efektif baik dari pihak keluarga maupun—utamanya—dari institusi pendidikan itu sendiri.

Hantu-hantu inilah nantinya yang menjadi salah satu faktor penyebab fenomena korban yang menjadi pelaku, krisis kepercayaan diri, dan permasalahan kesehatan mental lainnya—saya bukan seorang psikolog, tapi analisis ini berdasarkan fenomena bullying di Indonesia.

Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock

Sebenarnya untuk permasalahan serius ini, harapannya dapat dihadapi dengan eksistensi guru Bimbingan Konseling (BK) di tiap jenjang pendidikan. Sialnya, ia juga tidak pernah berjalan sepenuhnya dengan baik—atau setidaknya merata—di Indonesia.

Pengalaman pribadi dan beberapa kasus yang diberitakan di media massa juga menerangkan bahwa tak sedikit pengajar, bahkan guru BK yang andil dalam memperburuk fenomena bullying. Rusak… rusak.

Saya belum mencari tau lebih dalam lagi, apakah saat ini sudah ada pembenahan secara sistemik terkait guru BK dan pengajar problematik itu. Saran saya, kalo guru BK sempat dan ikhlas membaca ini, tolonglah, fungsi konseling itu digunakan dengan semaksimal mungkin. Jangan sampai jadi aktor penghakiman yang berujung pada kasus pembakaran (lagi) di sekolahnya.

Apakah mungkin karena BK ini belum tersentuh dengan isu kesehatan mental? Aku tak tau, tapi itulah PR-mu, wahai guru BK, pengajar, kepsek, menteri pendidikan, dan lain-lain.

Lanjut pada kegelisahan mendasar lainnya, menyoal korupsi. Izinkan saya mengutip data, kali ini dari Indonesia Corruption Watch bahwa tersangka korupsi sektor pendidikan didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu sebanyak 288 tersangka atau 46,3 persen. Lalu, yang 53,7 persen siapa?

Saya pun tak tau yang jelas. Korupsi di sektor pendidikan itu benar-benar terjadi. Ini sangat membuat gelisah ke mana-mana karena yang dikorupsi itu adalah hak dasar woi! Uang negara yang asalnya dari rakyat.

Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock

Kejam sekali kalau dipikir-pikir. Kok bisa-bisanya duit untuk pendidikan anak bangsa pun dikokop oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Problem besarnya adalah fenomena di sektor pendidikan ini akan berpengaruh pada kualitas pendidikan serta perbaikan bangsa. Kalau kata orang "anak muda adalah penentu masa depan bangsa", maka masa depan kita adalah korupsi di mana-mana.

Saya berani menyebut demikian karena capeknya adalah, koruptor ini terang-terangan berbuat curang. Bahkan, tak jarang mengajak anak didiknya untuk melakukan tindak koruptif.

Bayangkan, mereka korban orang-orang yang tak bertanggung jawab, kemudian masa depan mereka yang menjadi orang tak bertanggung jawab berikutnya. Begitu seterusnya, tak putus-putus, apabila tak ditangani dengan serius. Capek gak tuh sebumi-bumi nantinya diisi koruptor

Kegelisahan selanjutnya yaitu menyoal privatisasi. Ini agak susah sih jelasinnya. Tapi, saya akan coba menyederhanakan penjelasan saya. Sesuai dengan penerangan dari KBBI jika diberi konteks, maka privatisasi di sektor pendidikan artinya proses, cara, atau perbuatan agar pendidikan menjadi milik perseorangan, tercerabut dari milik negara atau tanggung jawab negara.

Padahal di konstitusi Indonesia alias UUD 1945, diterangkan Pasal 31 ayat (1) dan (2) bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Ilustrasi siswa membaca buku. Foto: Unspalsh
Ilustrasi siswa membaca buku. Foto: Unspalsh

Anggaplah misal—pembicaraan ini pernah kudengar simpang-siur di masyarakat—"negara gak mampu, sehingga minta tolong swasta biar semua anak bangsa bisa mendapatkan pendidikan". Di saat yang sama kita mesti membaca berita korupsi di sektor pendidikan sekaligus? Oh mai oh mai gat, aku gak kuat. Sebuah ironi, bukan?

Privatisasi pendidikan sebenarnya tidak sebatas itu. Jika kita melihat lebih jeli lagi apa yang terjadi di lapangan—atau pada faktanya, banyak.

Atau bisa cek video Pak Ganjar yang menanyakan biaya pendidikan di salah satu SMA Negeri di Jawa Tengah, sekolah negeri yang masih memberlakukan pembayaran alias pungutan liar di luar ketentuan institusi pendidikan sebagaimana yang dimandatkan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan.

Hal itu diperparah oleh minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan. Hari ini ia semakin menggila karena legislasi yang juga liar karena kepentingan ekonomi politik, di luar kontrol rakyat yang tak terlibat dalam oligarki.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan memberikan solusi melainkan saya beri kesempatan untuk para pemikir dan pihak yang berwenang untuk menanggapi kegelisahan di atas. Saya percaya diri pada protes kali ini karena, sungguh ini bukan permasalahan pribadi, tapi lebih struktural lagi.

Untuk mengubah atau memperbaikinya tidak cukup dengan menulis tapi berbagi peran antar warga. Warga memiliki kedaulatan tertinggi di negara ini. Maybe, selain kapasitas pengajar dan guru BK yang perlu disoroti untuk fenomena bullying, ruang demokrasi di tiap jenjang pendidikan pun perlu dipelihara agar berjalan dengan sehat.

Dengan berjalannya kritik, harapannya bullying dan perilaku koruptif dapat dikendalikan. Dengan begitu pula, diskusi bisa berjalan dan selalu ada peluang untuk berefleksi demi upaya perbaikan, khususnya di dunia pendidikan.

https://kumparan.com/renie/kegelisahan-tentang-perbaikan-pendidikan-215GqVEPmOa

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations