Krisis Etnis di Asia Tenggara: Dialog dan Rekonsiliasi sebagai Jalan Damai
Oleh Emir Alfachridzi
Kementerian Luar Negeri Indonesia, 3 November 2019-Pertemuan Menteri Pilar Sosial Budaya ASEAN. Kredit foto: Direktorat Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN
Kementerian Luar Negeri Indonesia, 3 November 2019-Pertemuan Menteri Pilar Sosial Budaya ASEAN. Kredit foto: Direktorat Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN

Asia Tenggara merupakan kawasan yang kaya dengan keragaman etnis dan budaya. Sayangnya, perbedaan identitas ini kerap melahirkan ketegangan dan konflik antar-kelompok etnis. Krisis perbedaan etnis telah menjadi fenomena yang mendarah daging di kawasan ini selama beberapa dekade terakhir.

Di Filipina Selatan, kelompok etnis Moro telah lama memberontak demi meraih hak otonomi dan keadilan dari pemerintah Manila yang didominasi etnis Tagalog. Di Thailand Selatan, minoritas Melayu-Muslim juga menuntut hak-hak politik dan budaya dari mayoritas etnis Thai yang beragama Buddha.

Sementara itu, Gerakan Aceh Merdeka di Indonesia juga memperjuangkan hak dengan cara menentukan nasib sendiri melalui pemberontakan bersenjata selama puluhan tahun.

Masalah etnis ini telah melahirkan banyak korban jiwa dan trauma di ketiga negara tersebut. Karenanya, banyak pemerintah yang menempuh pendekatan keamanan dan militeristik untuk memberantas para pemberontak etnis. Sayangnya, penumpasan dengan kekuatan senjata hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar persoalan.

Oleh karena itu, dialog dan rekonsiliasi antar-etnis adalah kunci untuk mencapai perdamaian jangka panjang. Sebagai contoh, Perjanjian Damai Helsinki 2005 yang mengakhiri konflik Aceh dilandasi prinsip keselarasan pemahaman dan menghargai identitas budaya.

Demikian pula, dialog damai antara pemerintah Filipina dan Moro sejak 2014 turut memberi harapan bagi penyelesaian damai konflik di Mindanao.

Melalui dialog, para pihak dapat saling mendengarkan aspirasinya dan mencari titik temu. Rekonsiliasi juga penting untuk menyembuhkan luka masa lalu demi terciptanya trust atau saling percaya. Dengan demikian, solusi politik jangka panjang dapat ditemukan, bukan sekadar menekan gejala lewat kekerasan.

Tentu saja, dialog dan rekonsiliasi bukan proses yang mudah dan instan. Diperlukan political will atau niat politik kuat dari para pemimpin etnis dan pemerintah. Juga kerendahan hati untuk saling meminta maaf atas kesalahan di masa lalu.

Namun inilah satu-satunya jalan menuju perdamaian tanpa kekerasan di Asia Tenggara yang majemuk. Mari kita tinggalkan prasangka dan dengarkan suara minoritas yang selama ini terpinggirkan. Hanya dengan begitu, anak cucu kita dapat hidup berdampingan dalam damai dan persaudaraan.

https://kumparan.com/emir-alfachridzi/krisis-etnis-di-asia-tenggara-dialog-dan-rekonsiliasi-sebagai-jalan-damai-21UChGcYhGF

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations