Krisis Identitas: Jakarta Tanpa Gelar Ibu Kota
Oleh Zackir L Makmur
Ilustrasi kota Jakarta. Foto: Shutterstock
Ilustrasi kota Jakarta. Foto: Shutterstock

Jakarta berubah. Bukan lagi sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. RUU IKN yang disahkan menjadi Undang-Undang pada 18 Januari 2022 telah menandai langkah awal menuju perubahan besar itu, dengan perpindahan fisik yang semakin nyata pada tahun 2024.

Meskipun keputusan pemindahan telah disepakati, DKI Jakarta tetap menjadi ibu kota hingga Keputusan Presiden terkait pemindahan ke Indonesia Timur dikeluarkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai masa depan kota yang selama ini menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya.

Pembahasan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menandai perubahan status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi DKJ, mencerminkan pergeseran status Jakarta sebagai pusat kekuatan politik nasional. Dengan Jakarta bukan lagi ibu kota Republik Indonesia, maka muncul pertanyaan esensial tentang arah masa depan politik, ekonomi, dan sosial Indonesia.

Dalam konteks ini, pemindahan ibu kota tidak hanya sekadar perubahan fisik, melainkan gejala yang mencerminkan evolusi lebih besar dalam politik dan identitas nasional. Hal ini menjadi tonggak penting dalam sejarah dan perubahan sosial di Indonesia, yang menunjukkan komitmen untuk mencapai kesetaraan pembangunan di seluruh wilayah negara.

Di mana Jakarta, yang sejak lama sebagai Ibu Kota Indonesia, kini dihadapkan pada realitas baru tanpa gelar Daerah Khusus Ibukota. Apa boleh buat, situasi ini bisa juga menimbulkan krisis identitas yang kompleks dan signifikan bagi Jakarta.

Sebagai pusat politik, gelar ibu kota memberikan Jakarta kekuasaan dan pengaruh yang luas di tingkat nasional. Keputusan-keputusan penting dan kebijakan nasional selama ini diputuskan di ruang-ruang kekuasaan di Jakarta.

Namun, dengan hilangnya gelar ibu kota, Jakarta tidak hanya kehilangan kekuasaan politiknya, tetapi juga kedudukan dan otoritasnya sebagai pusat administratif dan politik negara. Krisis identitas ini memunculkan pertanyaan: masih relevankah Jakarta berperan dalam peta politik nasional?

Sewaktu Jakarta menjadi ibu kota negara besar ini, Jakarta telah menjadi pusat kegiatan bisnis yang vital bagi Indonesia dan kawasan sekitarnya. Gelar ibu kota telah menarik investasi, menggerakkan pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja bagi jutaan penduduknya.

Namun, dengan hilangnya gelar tersebut, Jakarta menghadapi tantangan dalam mempertahankan daya tariknya sebagai pusat bisnis utama. Penurunan statusnya sebagai ibu kota berpotensi menimbulkan pengurangan investasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, dan kerugian signifikan bagi perekonomian kota.

Kota Mengalami Krisis Identitas

Jakarta, yang selama ini dikenal sebagai Ibu Kota Indonesia, kini harus menghadapi realitas baru. Dalam konteks ini, Jakarta menghadapi sebuah krisis identitas yang kompleks dan mendalam.

Krisis identitas Jakarta akibat kehilangan gelar sebagai ibu kota tidak hanya berdampak pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan terhadap dinamika sosial kota ini. Sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya, Jakarta telah menjadi rumah bagi jutaan penduduk dari berbagai latar belakang etnis, agama, dan budaya.

Namun, pergeseran statusnya sebagai ibu kota berpotensi mempengaruhi berbagai aspek sosial kota ini, menciptakan ketidakpastian dan konflik yang dapat mengancam kedamaian sosial. Di mana perubahan status Jakarta bisa saja dapat memicu perubahan dalam struktur sosial kota.

Sebagai ibu kota, Jakarta telah menjadi magnet bagi penduduk dari berbagai daerah di Indonesia yang mencari peluang kerja dan kehidupan yang lebih baik. Namun, dengan hilangnya gelar ibu kota, Jakarta bakal kehilangan daya tariknya sebagai pusat migrasi yang kuat. Hal ini dapat mengubah dinamika populasi kota, menciptakan pergeseran dalam struktur demografis dan sosial.

Selain itu, perubahan status Jakarta juga dapat memengaruhi hubungan antar-kelompok di dalam masyarakat. Sebagai kota yang multikultural, Jakarta telah menjadi tempat di mana berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya hidup berdampingan secara harmonis.

Perubahan status Jakarta juga dapat berdampak pada integrasi sosial dan kohesi masyarakat. Tidak lagi sepenuhnya terakomodasi sebagai pusat kegiatan budaya dan sosial, di mana sebelumnya Jakarta telah menjadi tempat di mana berbagai kelompok masyarakat saling berinteraksi dan berbagi pengalaman.

Lebih luas, ternyata yang bisa begitu bukan saja Jakarta. Melainkan kota-kota besar di dunia menghadapi krisis identitas. Krisis identitas ini juga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk perubahan politik, ekonomi, sosial, atau budaya.

Sebutlah Kota Detroit, Amerika Serikat, merupakan contoh kota industri yang mengalami kemunduran signifikan akibat perubahan ekonomi global. Kota Istanbul, Turki, juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitasnya sebagai titik pertemuan antara Timur dan Barat. Kemudian Kota Berlin, Jerman, juga mengalami perubahan sosial dan budaya setelah reunifikasi, sementara Kota Mumbai, India, menghadapi tantangan terkait dengan ketimpangan sosial dan pertumbuhan urban yang cepat.

Begitu pula terhadap Kota Barcelona, Spanyol, yang menghadapi krisis identitas terkait dengan masalah separatisme Catalunya, yang menciptakan ketegangan sosial dan politik di kota tersebut.

Pamor Jakarta Merosot

Sebelumnya, Jakarta telah menikmati statusnya sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya Indonesia selaku ibu kota negara. Prestige ini telah mengilhami pertumbuhan yang pesat dalam segala hal, mulai dari infrastruktur yang maju, bisnis yang berkembang, hingga aktivitas sosial yang ramai di kota tersebut.

Namun, Jakarta harus melepaskan statusnya sebagai ibu kota, maka pamornya sebagai pusat politik dan administratif akan merosot secara signifikan. Tanpa gelar tersebut, Jakarta berpotensi mengalami perubahan dramatis dalam dinamika ekonomi dan sosialnya.

Maka Jakarta bakal kehilangan kekuatan politik dan administratif yang selama ini melekat pada gelar ibu kota. Hal ini menyebabkan pemerintah pusat mengalihkan perhatiannya dari perkembangan dan kebutuhan kota ini.

Meskipun Jakarta akan tetap menjadi pusat bisnis dan kegiatan ekonomi yang penting, penurunan statusnya dapat mengurangi daya tarik bagi sektor bisnis tertentu dan investasi tertentu. Bersamaan pula banyak proyek pembangunan yang semula terkait dengan status ibu kota, mungkin akan mengalami perlambatan atau revisi.

Perubahan status juga akan berdampak pada identitas budaya Jakarta. Identitas kota yang sebelumnya terkait erat dengan status politik dan administratif sebagai ibu kota , bakal berubah yang menekankan lebih pada aspek-aspek budaya dan sejarah kota.

Pamor Jakarta akan berubah secara signifikan tidak lagi sebagai ibu kota. Meskipun tetap menjadi pusat ekonomi dan sosial yang penting, Jakarta akan menghadapi tantangan baru dalam menentukan peran dan identitasnya di tingkat nasional dan internasional.

Kehilangan Identitas

Istana IKN (Foto.Kemenko.PMK)
Istana IKN (Foto.Kemenko.PMK)

Jakarta tidak lagi ibu kota negara, sangat boleh jadi tergelincir dalam kelemahan ekonomi. Perusahaan-perusahaan besar dan investor memindahkan fokus mereka ke ibu kota baru, meninggalkan Jakarta dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Maka terjadilah penurunan lapangan kerja, dan kesulitan menarik investasi baru.

Kemunduran ini diperparah oleh kurangnya dukungan dari pemerintah pusat yang kuat, yang menyebabkan Jakarta semakin terperosok dalam krisis sosial dan lingkungan yang semakin parah.

Banjir yang sering, polusi udara yang mengerikan, dan kemacetan lalu lintas yang tak tertahankan semakin memburuk, meninggalkan penduduk Jakarta dalam keputusasaan dan penurunan kualitas hidup.

Kehilangan status sebagai ibu kota juga menyebabkan Jakarta kehilangan identitasnya sebagai pusat kekuasaan. Identitas yang telah menjadi bagian dari sejarah dan budaya kota selama berabad-abad sirna, meninggalkan penduduk merasa terpinggirkan.

Dampak yang lebih dalam terasa pada depresi ekonomi dan budaya yang menghantui Jakarta setelah kehilangan statusnya. Semangat kota yang dulu gemilang perlahan padam.

Sangat mungkin Jakarta bisa sebagai kota yang merana –setelah kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara. Meskipun provokatif, hal ini menjadi pengingat akan pentingnya peran ibu kota dalam pertumbuhan dan kesejahteraan suatu negara, serta pentingnya kebijakan yang bijaksana dalam menangani perubahan status tersebut.***

https://kumparan.com/zackir-l-makmur/krisis-identitas-jakarta-tanpa-gelar-ibu-kota-22PrkCkfXzW

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations