Majelis Disiplin dalam UU Kesehatan, Quo Vadis?
Oleh wahyu andrianto
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku sejak tanggal 8 Agustus 2023. Undang-Undang ini mencabut 11 (sebelas) Undang-Undang yang meliputi:

  • Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

  • Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

  • Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran

  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

  • Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan

  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

Implikasinya, banyak hal baru yang diatur di dalam Undang-Undang Kesehatan ini. Terkait dengan pelindungan hukum bagi dokter (tenaga medis), terdapat Majelis yang mempunyai posisi dan peran vital dalam penegakan disiplin serta hukum.

Majelis ini diatur di dalam Pasal 304-310 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) kewenangan Majelis, yaitu: (1) menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan, (2) memberikan rekomendasi atas pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menarik untuk dikaji kewenangan Majelis ini.

Disiplin merupakan aturan penerapan keilmuan bagi dokter. Untuk dokter, ruang lingkup pelanggaran disiplin telah diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Pelanggaran disiplin tidak identik dengan pelanggaran hukum.

Oleh karena itu, Pasal 66 (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan bahwa pengaduan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke Pengadilan.

Namun, dalam implementasinya, Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menimbulkan kebimbangan bagi Majelis Hakim Pengadilan sehingga muncul berbagai Putusan Pengadilan:

1. Putusan Pengadilan yang mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;

2. Putusan Pengadilan yang tidak mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;

3. Putusan Pengadilan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkverklaard) karena belum ada pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;

4. Putusan Pengadilan yang mempergunakan pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan;

5. Putusan Pengadilan yang tidak mempergunakan (mengesampingkan) pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan;

6. Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan karena ada Hakim yang mempertimbangkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan ada Hakim yang mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Semoga hal ini tidak terjadi dengan Majelis yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Terkait dengan kewenangan Majelis untuk memberikan rekomendasi atas pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh dokter, hal ini mirip dengan dismissal prosedur sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 62 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dismissal prosedur bertujuan untuk mematangkan perkara dan menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan untuk diperiksa dalam proses persidangan. Oleh karena itu, dalam dismissal prosedur, minimal ada 5 (lima) hal yang diperiksa, yaitu: apakah pokok gugatan merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, apakah syarat gugatan telah terpenuhi, apakah gugatan didasarkan pada alasan yang layak, apakah yang dituntut dalam gugatan telah terpenuhi dalam Keputusan Tata Usaha Negara, apakah jangka waktu pengajuan gugatan terpenuhi.

Dismissal prosedur mempunyai posisi yang vital dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara karena menyaring atau memfilter apakah perkara tersebut dapat diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara ataukah tidak. Oleh karena itu, tidak salah jika dinyatakan bahwa salah satu ujung tombak penegakan keadilan dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara terletak di dismissal prosedur.

Demikian juga dengan Majelis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Majelis ini merupakan ujung tombak dalam penegakan keadilan karena Majelis ini berwenang memberikan rekomendasi apakah terdapat pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh dokter pada saat mengemban profesinya.

“Sudahkah Undang-Undang Kesehatan Memberikan Pelindungan Hukum bagi Dokter?” Jawabannya adalah: Belum.

Agar Undang-Undang Kesehatan memberikan pelindungan hukum bagi dokter, keberadaan dan kewenangan Majelis ini harus dirumuskan secara komprehensif serta proporsional dalam Peraturan Pemerintah. Beberapa hal yang harus dirumuskan adalah:

  • Definisi dan ruang lingkup pelanggaran disiplin bagi dokter;

  • Korelasi antara pelanggaran disiplin dengan pelanggaran etika dan pelanggaran hukum;

  • Sumber Daya Manusia yang mumpuni yang duduk di Majelis – minimal harus memahami mengenai ruang lingkup pengaturan pelanggaran disiplin, pelanggaran etika dan pelanggaran hukum serta irisan atau hubungan di antara ketiga hal tersebut;

  • Hukum materiil dan formil dalam Majelis;

  • Kedudukan hukum rekomendasi Majelis;

  • Sarana prasarana pendukung agar Majelis dapat melaksanakan tugas secara profesional.

Semoga Majelis dapat memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

https://kumparan.com/wahyuandrianto/majelis-disiplin-dalam-uu-kesehatan-quo-vadis-226sMavznnI

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations