Melawan Stigma Buruk Profesi Petani di Indonesia
Oleh Fadli Hafizulhaq
Ilustrasi lahan pertanian. Sumber: Pixabay
Ilustrasi lahan pertanian. Sumber: Pixabay

Saat menghadiri sebuah pelatihan mahasiswa, saya menyempatkan diri untuk berbincang dengan seorang kolega yang merupakan lulusan program magister di Punjab, India. Beliau bercerita jika lahan pertanian di sana umumnya luas. Para petaninya sudah banyak yang sejahtera hingga pernah viral di media tentang petani Punjab yang membawa sejenis mobil SUV untuk mengolah lahan.

Dari percakapan kecil itu, saya semakin yakin bahwa sejatinya sektor pertanian bukanlah sektor ecek-ecek. Pertanian adalah penopang kehidupan manusia sebab selama hidup manusia butuh makanan. Hanya saja, tidak semua petani di belahan dunia ini yang bisa dengan mudah melewati garis kemiskinan.

Hal ini berdampak pada stigmatisasi profesi mulia tersebut—sengaja saya sebut mulia, karena berkat petani kita semua bisa makan. Utamanya di negara-negara berkembang, profesi petani terstigma sebagai profesi kalangan menengah ke bawah. Sekian dari dampak stigmatisasi ini adalah tipisnya kebanggaan anggota keluarga petani dengan profesi kepala keluarganya dan rendahnya minat generasi mereka untuk melanjutkan profesi orang tuanya.

Asal Muasal Stigma

Ilustrasi petani di sawah. Foto: Pixabay
Ilustrasi petani di sawah. Foto: Pixabay

Setiap orang barangkali punya pendapat masing-masing jika ditanya apa kiranya yang menciptakan stigma buruk pada profesi petani. Sebagai seorang anak yang pernah diajak bertani oleh orang tua, saya mencatat beberapa hal yang agaknya menjadi asal muasal stigma itu.

Pertama, soal baju kerja. Tidak seperti pegawai kantoran, baju kerja petani—terutama yang di daerah rural—umumnya lusuh-lusuh. Pemilihan baju kerja ini tentu sesuai dengan area kerja yang memang akrab dengan lumpur dan tanah. Hal tersebut membuat petani tidak “good looking” dibandingkan profesi lain. Apalagi jika dibandingkan pekerja yang pergi dan pulang kerja dengan seragam safari.

Kedua, kondisi finansial. Rata-rata petani di desa kesulitan untuk mengatasi permasalahan finansialnya. Hal itu diperparah dengan sedikitnya opsi permodalan usaha pertanian. Tidak jarang petani menanam dengan modal pinjaman dari tengkulak. Kondisi tersebut membuat mereka harus setuju dengan apapun yang ada di dalam kontrak.

Ketiga, tingkat pendidikan. Negeri ini masih kekurangan petani yang memiliki level pendidikan tinggi, baik akademik maupun vokasi. Tingkat pendidikan sangat erat hubungannya dengan tingkat pemahaman dan penerapan teknologi baru ke lahan pertanian. Jika seorang petani memiliki pemahaman yang cukup, efisiensi pertanian tentu dapat ditingkatkan.

Selain hal tersebut tentu masih ada banyak faktor lain yang membuat profesi petani dianggap profesi yang tidak menjanjikan. Celakanya, jika stigmatisasi ini terus dibiarkan, jumlah petani akan semakin berkurang. Bahkan bukan tidak mungkin jika fenomena itu memberikan dampak pada ketersediaan bahan pangan.

Upaya Melawan Stigmatisasi

Petani beraktivitas di persawahan Desa Puca, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (8/1/2022) Foto: Abriawan Abhe/ANTARA FOTO
Petani beraktivitas di persawahan Desa Puca, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (8/1/2022) Foto: Abriawan Abhe/ANTARA FOTO

Jika kita kaji betul, berbagai pihak saat ini telah berupaya keras melawan stigmatisasi yang “diskriminatif” terhadap pelaku dan usaha pertanian. Pemerintah sendiri telah mendorong para petani untuk mengadopsi teknologi-teknologi digital dan beralih menjadi petani digital. Terlepas dari berbagai rintangannya, pengadopsian teknologi adalah salah satu upaya terbaik dalam melawan stigmatisasi tersebut.

Sederhananya begini, jika premis buruknya profesi petani adalah karena kekunoan dalam penggarapan lahan, maka teknologi adalah solusinya. Saya jadi teringat masa di mana masih banyak petani membajak sawah dengan kerbau. Saat ini, sudah lumrah traktor tangan. Agar lebih modern dan lebih sedikit berluluk, traktor tangan bisa ditingkatkan jadi traktor beroda empat.

Perlawanan lain yang bisa dilakukan adalah mengedukasi petani untuk mengembangkan komoditas bernilai ekonomi tinggi. Kita memang tidak bisa meninggalkan sawah, akan tetapi sebagian lahan bisa saja digunakan untuk menanam tanaman mahal. Hal ini bisa menjadi solusi untuk peningkatan taraf hidup petani sehingga dapat melewati garis kemiskinan.

Kemudian, soal tingkat pendidikan itu, petani yang telah ada sekarang bisa diberikan pelatihan ilmu-ilmu praktis yang dapat langsung diterapkan. Di samping itu, edukasi yang tepat mengenai usaha pertanian juga perlu diberikan pada generasi muda agar sektor pertanian tidak kehilangan tulang punggungnya.

Perlawanan terhadap stigma buruk profesi petani adalah hal yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Bagaimanapun, setuju atau tidak, pertanian agaknya masih akan menjadi tulang punggung perekonomian negara.

https://kumparan.com/hafizulhaqfadli/melawan-stigma-buruk-profesi-petani-di-indonesia-21DwJA7bCA6

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations