Memaknai Ulang Pembangunan di Papua
Oleh Toenjes Swansen Maniagasi, SH
Cotage Raja Ampat, Papua. Foto : pixabay.com
Cotage Raja Ampat, Papua. Foto : pixabay.com

Papua merupakan pulau terluas di Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah, membentang dari mineral (seperti emas, tembaga), gas alam, perikanan, pertanian, dan lain-lain. Namun demikian, kekayaan tersebut bukan menjadi berkah bagi Orang Asli Papua (OAP), bahkan bisa disebut menjadi petaka bagi OAP. Kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan berbagai masalah lainnya menjadi cerminan sehari-hari.

OAP kalah, mereka diberangus dari tanahnya. Padahal dalam filosofi orang Papua, tanah (maki) sebagai mama (akukai) bahkan susu yang memberikan kehidupan. Praktiknya sungguh ironis bahkan dalam beberapa segmen sangat memilukan, menyayat hati.

Puluhan tahun, 1969-2024, keberadaan dan pengakuan atas Papua masih pasang surut. Dalam lintas waktu tertentu, Papua hanya ditempatkan dalam urusan administratif, dipandang sebagai objek pembangunan yang rancang bangunnya di desain dan diarahkan secara topdown – dari Jakarta. Kini komitmen untuk menempatkan Papua sebagai subjek pembangunan seutuhnya telah diberikan secara legal sejak UU Otonomi Khusus dengan segala kelebihan dan kekurangan, dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah Indonesia. Namun faktualnya tidak sepenuhnya demikian.

Tentu harus diapresiasi, akan tetapi patut diresapi berbagai masalah seputar kemiskinan, konflik agraria dan sumber daya alam, keamanan, teritori laut, stunting, kekurangan pangan, ketimpangan akses informasi, pendidikan yang belum merata, akses kesehatan yang minim, kerusakan hutan, dan berkurangnya keanekaragaman hayati dan makin merosotnya kearifan lokal masyarakat adat sebagai konsekuensi kegiatan ekonomi ekstraktif yang telah merusak ekosistem Papua.

Oleh karena, secara teori tahapan perkembangan suatu masyarakat, lompatan-lompatan pembangunan memerlukan rekayasa termasuk sosial politik dan kebudayaan yang secara sadar dapat dijalankan tanpa intimidasi-paksaan. Dengan demikian, gerak pembangunan dan atau pengembangan Papua selama puluhan tahun yang terbukti tidak memanusiakan OAP harus diakhiri.

Masifnya investasi tambang dan perkebunan serta pertanian justru memutus relasi historis masyarakat lokal dengan tanahnya. Tanah sebagai “mama, hidup itu sendiri”, tidak boleh diperjualbelikan. Menjual tanah berarti menjual kehidupan.

Di masa mendatang harus di desain dengan presisi, bahwa memang di era modern ini tidak mungkin menghindari investasi. Tetapi OAP hanya menginginkan tanah-tanah mereka tidak dirampas dengan menggunakan berbagai cara. Selain itu mekanisme ganti rugi yang selama ini dilakukan sangat tidak sebanding dengan nilai tanah adat. Baik nilai sosial budaya maupun nilai ekonomi.

Lebih jauh, dengan ragam masalah yang dihadapi OPA makin kompleks dan disrupsi teknologi yang begitu cepat, maka diperlukan peta jalan sejak dini, dipersiapkan dengan matang dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi penuh OAP dalam pembangunan Papua.

Semua solusi untuk mewujudkan hal tersebut harus dikerjakan secara paralel, tentu ada urutan prioritas. Peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit mesti dikerjakan dengan serius. Kemudian akses atas pangan yang merata, penanganan stunting, dan korupsi juga sangat esensial. Dengan dilakukan secara sungguh-sungguh, OAP tidak tertinggal, tidak tergerus oleh globalisasi. Singkat kata, tidak ada lagi alasan lagi untuk tidak memberi peran dan tanggung jawab bagi OPA terkhusus pemuda Papua untuk menjadi subjek pembangunan di tanahnya sendiri.

https://kumparan.com/toenjes-swansen-maniagasi/memaknai-ulang-pembangunan-di-papua-22gAwp95mn2

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations