Menggugat Feodalisme Kultur Dunia Akademik Indonesia
Oleh Raihan Muhammad
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/smolaw
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/smolaw

Feodalisme merupakan kultur yang mengakar di masyarakat Indonesia sudah sejak dulu. Kultur feodalisme telah merasuk jauh ke dalam masyarakat Indonesia, mengakar kuat sebagai warisan dari zaman kerajaan yang menganut sistem patron-klien.

Budaya ini memengaruhi pelbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Tanah Air. Di Indonesia, kultur feodalisme telah menjadi sebuah kerangka yang memberi bentuk pada banyak institusi tradisional dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.

Mochtar Lubis, seorang jurnalis sekaligus penulis, dalam pidatonya menyatakan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah berjiwa feodal—di samping hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Dalam pidatonya kala itu, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 6 April 1977, dengan lantang Lubis mengkritik rezim Orde Baru, sebagai respons atas feodalisme yang dipakai secara ugal-ugalan.

Gagasan Mochtar Lubis tentang feodalisme dan perilaku berjiwa feodal dalam masyarakat Indonesia tetap relevan hingga saat ini. Feodalisme, sebagai sistem sosial, ekonomi, dan politik, masih mengakar dalam budaya dan institusi masyarakat Indonesia, menciptakan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang signifikan.

Sistem patron-klien terus memengaruhi hubungan sosial dan politik, sementara ketergantungan terhadap pemimpin dan perilaku "berjiwa feodal" masih menghambat perubahan sosial yang lebih adil.

Mochtar Lubis, dalam kritiknya terhadap rezim Orde Baru pada masanya, mencerminkan upaya untuk mengungkap ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terkait dengan feodalisme. Untuk mendorong perubahan positif, perlu adanya pendidikan dan kesadaran masyarakat yang lebih baik, serta reformasi politik yang mengedepankan keadilan sosial dan tanggung jawab sosial yang lebih besar di seluruh masyarakat Indonesia.

Selain itu, gagasan Mochtar Lubis tentang feodalisme memiliki dampak pada kultur akademik Indonesia. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang berasal dari feodalisme tercermin dalam sektor pendidikan, menciptakan ketidakmerataan akses terhadap pendidikan berkualitas dalam kultur akademik.

Sistem patron-klien yang masih memengaruhi hubungan sosial dan politik juga bisa ditemukan dalam dunia akademik, dengan praktik-praktik seperti nepotisme yang mengganggu pengembangan ilmu pengetahuan yang adil.

Ketergantungan pada otoritas akademik yang muncul dari perilaku "berjiwa feodal" dapat menghambat kreativitas dan inovasi dalam kultur akademik. Orang mungkin cenderung mengikuti arahan tanpa kritis mempertanyakan atau berkontribusi pada pemikiran dan penelitian inovatif.

Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Maglara
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Maglara

Namun, kritik terhadap status quo, seperti yang dilakukan oleh Mochtar Lubis dalam kritiknya terhadap rezim Orde Baru, merupakan bagian integral dari kultur akademik yang sehat. Pengkajian kritis terhadap sistem pendidikan dan akademik dapat memicu perubahan yang lebih adil dan inklusif.

Untuk mengatasi dampak negatif dari feodalisme dalam kultur akademik, diperlukan penerapan prinsip-prinsip demokratis, transparansi, dan keadilan dalam dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia.

Pendekatan ini akan mempromosikan akses pendidikan yang merata, mendukung riset yang adil, serta mendorong penilaian obyektif yang berkontribusi pada kemajuan akademik yang lebih inklusif dan demokratis dalam perkembangan Indonesia yang terus berlanjut.

Feodalisme dalam budaya akademis Indonesia adalah praktik yang menekankan kekuasaan guru dengan siswa diharapkan hanya mendengarkan dan mencatat tanpa bertanya. Praktik ini mendorong pendekatan pendidikan "top-down" yang mana kekuasaan terpusat pada guru/dosen atau administrasi sekolah.

Dampak negatif dari budaya feodalisme ini termasuk kurangnya pemikiran kritis dan kreativitas di kalangan pembelajar karena mereka tidak didorong untuk bertanya atau mengajukan pertanyaan terhadap informasi yang disampaikan kepada mereka.

Budaya feodalisme dalam sistem pendidikan Indonesia dianggap sebagai hambatan besar bagi kemajuan pendidikan di negara ini. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia.

Pengajar atau akademisi harus berperan sebagai fasilitator pembelajaran, bukan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sistem pendidikan juga harus mementingkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip humanistik yang mengutamakan pengembangan potensi dan kemampuan peserta didik.

Taufiqurrahman (2023) menyatakan bahwa kultur feodal merupakan salah satu kultur toksik di dunia akademik Indonesia. Gagasan dalam tulisan tersebut menggambarkan kaitan yang kuat antara kultur feodal dalam dunia akademik Indonesia dengan ketidakmampuan atau ketidakberanian untuk memberikan tinjauan sejawat yang kritis dan konstruktif.

Dalam kultur feodal, hierarki yang kuat dalam sistem universitas menciptakan ketidaksetaraan epistemik yang berdampak pada kurangnya keterbukaan terhadap pemikiran yang berbeda dan penilaian objektif terhadap karya akademik.

Kultur feodal yang masih kuat dalam dunia akademik Indonesia menyebabkan para dosen cenderung takut untuk menyampaikan pendapat mereka, terutama jika pendapat itu berbeda dengan atasan atau mereka yang berada di tingkatan di atasnya. Hal ini menghambat pertukaran ide, diskusi kritis, dan perkembangan pemikiran dalam dunia akademik.

Kemudian, struktur penilaian dan kenaikan jabatan fungsional dosen yang bergantung pada persetujuan atasan juga mengawetkan kultur feodal. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menghubungkan kenaikan jabatan dengan penilaian atasan dapat menyebabkan penilaian subjektif dan ketidakmampuan untuk bersuara kritis.

Dalam kultur feodal yang kuat, para dosen muda yang telah dikondisikan untuk tunduk dan tidak kritis kepada atasan mereka mungkin tidak akan memberikan tinjauan sejawat yang kritis terhadap karya dosen senior atau pejabat universitas. Ini menciptakan lingkungan akademik yang kurang berani dan inovatif.

Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Markgraf
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Markgraf

Selain itu, Taufiqurrahman (2023) menyatakan bahwa kultur feodal yang telah mengakar dalam dunia akademik Indonesia ternyata melahirkan satu kultur toksik lain yang dikenal sebagai kultur seremonial. Kedua kultur ini berjalan seiring dan memiliki dampak negatif yang signifikan pada perkembangan akademik di Indonesia.

Dalam kultur akademik yang dipengaruhi oleh feodalisme, nuansa seremonial menjadi sangat mendominasi. Dies natalis universitas dan perayaan seremonial lainnya terkadang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang substansial, seperti riset dan pengembangan mata kuliah. Banyak waktu dan sumber daya yang dihabiskan untuk acara-acara yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Selain itu, Taufiqurrahman juga menyoroti nuansa seremonial juga tercermin dalam ujian sidang terbuka calon doktor, yang mana sering kali ujian tersebut menjadi acara sosial yang dihadiri oleh banyak orang yang tidak terlalu memahami isi disertasi. Ini dapat menghambat kelancaran ujian dan menghambur-hamburkan sumber daya.

Undangan pejabat dalam acara seminar atau konferensi, bahkan jika mereka tidak memiliki kualifikasi atau kontribusi ilmiah terhadap topik yang akan dibahas, adalah contoh lain dari kultur seremonial yang berakar dalam kultur feodal. Pemberian penghormatan kepada pejabat menjadi prioritas daripada memastikan substansi dan relevansi acara.

Kultur feodal akademik Indonesia dan kultur seremonial ini secara kolektif menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian yang berkualitas.

Untuk mencapai kemajuan akademik yang lebih substansial, perlu ada perubahan dalam kultur akademik yang mengedepankan nilai-nilai akademik yang sehat, seperti kritikalitas, relevansi, dan integritas. Hanya dengan mengatasi kultur feodal dan seremonial ini, Indonesia dapat menghasilkan peneliti dan ilmuwan yang mampu bersaing di tingkat internasional.

Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/jd8
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/jd8

Kemudian, beberapa filsuf dan pemikir, seperti Pierre Bourdieu, Michel Foucault, Antonio Gramsci, Ivan Illich, dan Paulo Freire, telah mengkritisi feodalisme dalam kultur dunia akademik. Mereka telah mengidentifikasi berbagai masalah yang terkait dengan hierarki, ketidaksetaraan, dan kurangnya pemikiran kritis dalam dunia akademik.

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mengembangkan konsep modal budaya dan bidang ilmiah untuk menyoroti kesenjangan dalam akses dan penilaian terhadap pengetahuan.

Michel Foucault, seorang filsuf Prancis, mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan institusi dalam masyarakat, menunjukkan bagaimana kultur feodal dalam dunia akademik dapat menjadi alat kontrol dan dominasi.

Antonio Gramsci, seorang teoretikus politik Italia, mengembangkan konsep hegemoni kultural dan menekankan pentingnya perlawanan intelektual dan kultural untuk mengatasi dominasi kelompok elit dalam dunia akademik.

Ivan Illich, seorang pemikir Siprus-Amerika, mengkritik pendidikan formal dan institusi akademik dalam bukunya Deschooling Society, menyuarakan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih demokratis dan desentralisasi.

Paulo Freire, seorang pendidik Brasil, mencetuskan konsep "pendidikan pembebasan" yang menentang sistem pendidikan otoriter dan pasif, serta mendorong pendekatan partisipatif dan kritis dalam pendidikan.

Kontribusi dari para filsuf ini dan banyak lainnya telah memicu diskusi dan perubahan dalam pendidikan tinggi dan dunia akademik secara keseluruhan. Kritik mereka terhadap feodalisme dalam kultur akademik telah membantu membuka jalan menuju pemikiran yang lebih inklusif, kritis, dan demokratis dalam dunia pendidikan.

Selain itu, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, menyatakan bahwa pendidikan sebagai cara untuk memanusiakan manusia secara holistik. Bagi beliau, pendidikan harus berperan dalam memerdekakan manusia dari berbagai aspek kehidupan, termasuk fisik, mental, jasmani, dan rohani.

Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Conceptual Art
Ilustrasi dunia akademik. Foto: Shutterstock/Conceptual Art

Pendidikan bukan hanya tentang peningkatan pengetahuan intelektual, tetapi juga tentang pengembangan karakter, nilai-nilai, dan kesejahteraan secara menyeluruh. Visinya adalah menciptakan peserta didik yang lebih sadar, merdeka, dan berkembang dalam semua dimensi kehidupan mereka.

BACA JUGA

Mengatasi feodalisme dalam dunia akademik Indonesia bukanlah perkara mudah, tetapi hal ini memerlukan komitmen, konsistensi, dan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengajar, pembelajar, dan pengambil kebijakan.

Pemerintah juga perlu mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mencegah korupsi di sektor pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan yang mengedepankan pemikiran kritis, kreativitas, dan inovasi di kalangan peserta didik harus didukung oleh penerapan kebijakan yang sesuai.

https://kumparan.com/raihan-muhammad/menggugat-feodalisme-kultur-dunia-akademik-indonesia-21NSV9wgu30

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations