Merti Dusun Bulukerto: Tantangan Modernitas dari Ritus hingga Pasar
Oleh Shubuha Pilar Naredia
Warga berdoa bersama saat tradisi Merti Desa Petarangan di puncak bukit Botorono kawasan lereng gunung Sumbing, Petarangan, Kledung, Temanggung, Jateng, Rabu (7/12/2022).  Foto: Anis Efizudin/ANTARA FOTO
Warga berdoa bersama saat tradisi Merti Desa Petarangan di puncak bukit Botorono kawasan lereng gunung Sumbing, Petarangan, Kledung, Temanggung, Jateng, Rabu (7/12/2022). Foto: Anis Efizudin/ANTARA FOTO

Berbagai tradisi kemasyarakatan Jawa telah banya ditemu-kenali, salah satunya adalah Merti Desa, sehingga banyak masyarakat di pedasaan khususnya wilayah Jawa Tengah sering menggelar Merti Desa setiap tahunnya. Di beberapa daerah pedesaan, banyak gelaran semacam ini yang dilakukan menggunakan basis dusun bukan desa, sehingga disebut Merti Dusun bukan Merti Desa.

Merti Dusun sering disebut juga dengan bersih Desa, dengan terminologi semacam ini nampaknya dapat diartikan bahwa pelaksanaan Merti Dusun yang dilakukan oleh berbagai dusun dalam suatu desa ditujukan untuk menjaga kebersihan desa tersebut. Dengan kata lain, wajah desa dibangun atau ditampilkan dari aktivitas dusun-dusun sebagai penopangnya untuk penegasan identitas desa. Identitas desa kemudian direpresentasikan dari aktivitas-aktivitas dusun yang berada di dalamnya.

Aktivitas Merti Dusun bagi sebagian besar masyarakat Jawa hakikatnya dimaknai sebagai simbol rasa syukur masyarakat kepada sang Pencipta atas apa yang telah diberikan. Karunia tersebut dapat berupa rejeki yang melimpah, keselamatan, ketentraman, keamanan, keharmonisan, serta keselarasan hidup di dunia.

Kegiatan semacam ini masih sangat lazim ditemu-kenali di pedesaan maupun pedusunan sebagai bagian dari ritus dan situs yang ada di Desa. Masyarakat Jawa percaya ketika sedang dilanda duka dan musibah mendalam pun masih banyak hal yang pantas wajib disyukuri. Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada sang Pencipta, salah satunya melalui Merti Dusun.

Mengutip dari Babad.id, Merti Desa di Jawa umumnya dilaksanakan pada desa-desa wilayah agraris, berbeda dengan desa-desa di wilayah pesisir pantai misalnya, masyarakatya lebih merepresentasikan rasa syukurnya melalui tradisi larung sesaji.

Secara sosiologis, praktik-praktik semacam ini terdorong dari adanya realitas sosial yang dibangun dari fakta sosial akan kosmologi Jawa dimana masyarakat agraris berhubungan erat dengan Dewi Sri (Dewi Kesuburan), sementara masyarakat pesisir berhubungan erat dengan penguasa laut. Berbagai Merti Dusun di Jawa memiliki rangkaian acaranya masing-masing, salah satu Merti Dusun di Jawa yang menarik untuk dikaji adalah Merti Dusun Bulukerto di Kabupaten Karanganyar.

Dusun Bulukerto sebagai bagian wilayah administratif Desa Sewurejo, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, memiliki tradisi Merti Dusun yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai salah satu Merti Dusun yang penuh dengan rangkaian seni pertunjukannya. Mulai dari dari seni pertunjukan Reog hingga pagelaran wayang kulit.

Dilansir dari sewurejo.desa.id, Kepala Desa Sewurejo yaitu Agus Wibowo menerangkan bahwa Dusun Bulukerto masih melestarikan budaya yang sudah ada sejak dahulu dan berjalan hingga saat ini seperti bersih dusun yang dipandang dapat memberikan kebaikan, keberkahan, dan kesejahteraan kepada semua masyarakat Dusun Bulukerto.

Tradisi Merti Dusun Bulukerto dilakukan setiap tahunnya, sebagai wilayah yang berada di jalur pariwisata tentunya tradisi ini lambat laun mulai semakin mempersolek diri dengan kemasan pariwisata yang semakin menjamur. Sebagai contoh misalnya tradisi Merti Dusun yang dulunya diisi rangkaian syarat akan nilai-nilai pembelajaran seperti gotong royong membersihkan lingkungan, sendang (sumber mata air), dan situs-situs kemasyarakatan dusun, kini mulai bertambah rangkaiannya menjadi adanya hiburan musik, festival jajanan kuliner, hingga festival-festival kontemporer lainnya yang menyemarakkan tradisi tersebut.

Warga menyantap nasi tumpeng bersama saat tradisi Merti Desa Petarangan di puncak bukit Botorono kawasan lereng gunung Sumbing, Petarangan, Kledung, Temanggung, Jateng, Rabu (7/12/2022).  Foto: Anis Efizudin/ANTARA FOTO
Warga menyantap nasi tumpeng bersama saat tradisi Merti Desa Petarangan di puncak bukit Botorono kawasan lereng gunung Sumbing, Petarangan, Kledung, Temanggung, Jateng, Rabu (7/12/2022). Foto: Anis Efizudin/ANTARA FOTO

Eksistensi Merti Dusun yang dahulunya dirasakan dan dimaknai oleh masyarakat lokal kini mulai dirasakan oleh masyarakat umum sebagai sebuah event pariwisata lokal berbasis tradisi. Pada kondisi ini, tradisi sebagai ritus kemasyarakatan dipandang mulai berangkat menuju panggung kontestasi pariwisata untuk kepentingan pasar.

Nampaknya hal inilah yang kemudian dapat dimaknai sebagai bentuk komodifikasi tradisi. Mengutip dari oxford academic, Christoph Hermann dalam tulisannya berjudul A Theory of Commodification menggambarkan bahwa komodifikasi merupakan suatu proses dimana nilai tukar mendominasi nilai guna. Pasar, uang, dan orientasi keuntungan merupakan instrumen yang memfasilitasi penaklukan nilai guna terhadap nilai tukar.

Merujuk pada kajian di atas, perlu adanya penjabaran ulang mengenai nilai tukar dan nilai guna atas tradisi Merti Dusun, hal ini menjadi penting karena jika terus diabaikan, maka modernitas yang hadir di masyarakat desa mulai semakin dapat merajai seluruh aspek sendi hingga napas kehidupan di desa.

Kondisi demikian itu menjadi tantangan baru mengingat masyarakat desa memiliki keyakinan-keyakinan lokal yang tentunya tidak dapat dikonfrontasikan dengan kepentingan pasar, resiliensi desa atas terpaan modernitas menjadi penting untuk mewujudkan harmoni sosial.

Berubahnya wajah tradisi untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lokal tentunya membawa dampak yang baik karena membuka ruang tumbuh kembang dari potensi ekonomi masyarakat setempat. Namun tentunya hal ini juga perlu mendapatkan perhatian yang serius agar nilai-nilai yang ada dalam tradisi dapat terjaga kemurniannya. Masyarakat desa tetap dapat tumbuh dan berkembang beriringan dengan kemajuan tantangan pasar komoditi pariwisata yang tentunya harus mengedepankan upaya konservasi tradisi lokal.

Tradisi sebagai ruh hidup masyarakat desa yang memuat akan tuntunan hidup jangan sampai menjadi tontonan (hiburan) semata, jika tidak dapat dihindarkan maka lebih bijaknya adalah mempertontonkan tradisi untuk menuntun masyarakat kembali menjaga nilai-nilai lokal.

Sebuah dilematis jika tentunya jika tuntunan berubah menjadi tontonan, namun menjadi romantis apabila tontonan tersebut memuat tuntunan/tata cara hidup masyarakat desa. Inilah Bulurejo, sebuah dusun dengan praktik tradisi yang dipertontonkan dalam rangkaian pertunjukan sebagai bentuk upaya sadar menjaga tuntunan kearifan lokal masyarakatnya dari terpaan modernitas pariwisata.

https://kumparan.com/shubuha-pilar-naredia-s-sos-m-si/merti-dusun-bulukerto-tantangan-modernitas-dari-ritus-hingga-pasar-21Y8ODkMCHp

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations