Nasib Nelayan Kecil RI Terancam Hasil Putusan Konferensi ke-13 WTO
Nasib nelayan Kecil Indonesia bergantung pada sikap pemerintah atas hasil putusan konferensi ke-13 WTO. #bisnisupdate #update #bisnis #text
Ilustrasi nelayan. Foto: Moh Fajri/kumparan
Ilustrasi nelayan. Foto: Moh Fajri/kumparan

Nasib nelayan Kecil Indonesia bergantung pada sikap pemerintah atas hasil putusan Konferensi Tingkat Menteri (KTM13) ke-13 WTO. Ini disampaikan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan.

Menurutnya, Perundingan WTO ke-13, khususnya terkait subsidi perikanan, akan merugikan nelayan kecil di Indonesia.

"Apalagi Indonesia dianggap sebagai negara dalam kategori upper middle income country, berpotensi tidak diperkenankan menerapkan aturan-aturan subsidi untuk perlindungan nelayan kecilnya," kata Dani kepada kumparan, Sabtu (2/3).

Dalam isu subsidi perikanan yang dibahas di WTO, terdapat tiga pilar yang menjadi sentral pembahasan. Pilar pertama adalah tentang IUU Fishing (Illegal Unreported Unregulated Fishing). Pilar kedua tentang Overfishstock, dan pilar ketiga tentang Over Capacity dan Over Fishing (OCOF).

Untuk pertama dan kedua ini sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss 2022 lalu. Dalam perjanjian tersebut, Fisheries Subsidies Agreement dianggap sebagai langkah maju yang besar bagi keberlanjutan laut dengan melarang subsidi perikanan yang merugikan.

Adapun terdapat 8 jenis subsidi perikanan yang dilarang oleh WTO, yaitu:

(1) Subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal;

(2) subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan untuk kapal (termasuk alat tangkap dan mesin, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, refrigerator, atau mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan).

(3) Subsidi untuk pembelian atau biaya bahan bakar, es, atau umpan; (4) Subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi;

(5) Dukungan pendapatan (income) kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan [kecuali untuk subsidi yang diterapkan untuk tujuan subsisten selama penutupan musiman];

(6) Dukungan harga ikan yang ditangkap;

(7) Subsidi untuk mendukung kegiatan di laut; dan

(8) Subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.

Indonesia belum termasuk negara yang meratifikasi atau menyetujui perjanjian tersebut.

"Subsidi pemerintah dalam sektor perikanan skala kecil saat ini beragam. Dari bantuan perahu, alat tangkap, asuransi, hingga BBM. Tapi memang tidak semua nelayan kecil menikmati bantuan dan subsidi ini. Pemerintah Indonesia harus menolak perjanjian itu," tegas Dani.

Ilustrasi kapal nelayan lokal. Foto: Dok: KKP
Ilustrasi kapal nelayan lokal. Foto: Dok: KKP

Menurutnya, Indonesia memang seharusnya tidak meratifikasi perjanjian tersebut mengingat masih banyak jutaan nelayan kecil di Indonesia yang kondisinya berada pada garis kemiskinan ekstrem dan prasejahtera, apalagi jika subsidi tersebut dilarang dan dicabut.

"Subsidi yang dilarang WTO jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam Pasal 18 UU 7/2016 itu disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman," jelas Dani.

"Jika perjanjian WTO nantinya disahkan dan atau disepakati, maka pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan dukungan atau subsidi dalam bentuk apapun kepada nelayan," sambungnya.

Dani menegaskan, sebagai negara dengan pengaruh yang cukup besar, KNTI mendorong pemerintah Indonesia untuk menegaskan hak berdaulat negara untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati di wilayah yurisdiksi sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982, serta menegaskan pentingnya pengecualian perikanan skala kecil dari disiplin OCOF.

"Penerapan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) seharusnya ditargetkan kepada industri perikanan besar dan dibatasi fleksibilitas pemberian subsidinya sebatas wilayah yurisdiksi nasional saja” kata dia.

Selain itu, Dani juga mengingatkan agar Pemerintah Indonesia berhati-hati dengan kesepakatan-kesepakatan WTO yang mengarah pada agenda liberalisasi perdagangan yang dapat merugikan Indonesia.

Tuntutan Nelayan kepada Pemerintah RI

KNTI menuntut pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi dua pilar perjanjian subsidi perikanan WTO tersebut. Dani menila8 rancangan teks yang dibahas tidak mendefinisikan secara detail siapa nelayan yang sebagai subjek akan mendapatkan subsidi perikanan.

"Artinya pemerintah harus jeli dan detail dalam mendefinisikan siapa nelayan sebagai subjek dan yang dikecualikan," kata Dani.

Selain itu menurutnya rancangan teks yang dibahas tidak menargetkan bagi kapal-kapal besar, padahal seharusnya mereka yang dimintai pertanggungjawaban dengan pemberian subsidi yang besar. Termasuk di dalamnya negara maju yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan.

KNTI juga mendesak pemerintah memperhatikan kapal-kapal besar dan industri perikanan skala besar yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka yang melakukan IUU Fishing, Over Capacity dan Overfishing (OCOF).

"Dalam naskah subsidi perikanan yang ada saat ini masih memperbolehkan subsidi yang dilarang untuk terus berlanjut asalkan terdapat bukti bahwa stok ikan yang ditangkap dikelola secara berkelanjutan. Ini adalah klausul yang berat sebelah dan tidak adil karena akan menguntungkan negara-negara yang memiliki mekanisme pemantauan yang canggih, yaitu negara-negara maju, untuk terus mensubsidi armada mereka," pungkasnya.

https://kumparan.com/kumparanbisnis/nasib-nelayan-kecil-ri-terancam-hasil-putusan-konferensi-ke-13-wto-22GqG7buX2b

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations