Penyekat Feodalisme sebagai Penyakit Sistem Pendidikan Indonesia
Oleh Muhammad Zidan Ramdani
Ilustrasi siswa di sekolah. Foto: Pexels/Agung Pandit Wiguna
Ilustrasi siswa di sekolah. Foto: Pexels/Agung Pandit Wiguna

Sudah tahukah kamu, bahwa sistem pendidikan di Indonesia secara tidak langsung merupakan warisan dari pendidikan kolonial Belanda dan Jepang?

Hal ini dapat dilihat dari warisan feodalisme yang masih terus berlangsung dalam proses pendidikan di Indonesia, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mari berkenalan dengan penyakit dari sistem pendidikan Indonesia tersebut.

Feodalisme menurut KBBI ialah sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagungkan prestasi kerja. Dalam buku "Filsafat Sosial: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas" karya Hans Fink yang diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko, didefinisikan bahwa "feodalisme" diambil dari bahasa latin "feodom" yang berarti fief (struktur hierarki berbentuk piramida dengan raja dan tuan berada di puncak).

Jadi, dapat diartikan feodalisme adalah kekuasaan yang dimiliki suatu kelompok atas masyarakat yang mana kekuasaannya memberikan atas dirinya hak yang istimewa.

Masalah ini menjadi semakin serius dengan masuknya Indonesia pada sebuah survei Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai negara yang menduduki peringkat keenam dari bawah. Hasil survei PISA pada dasarnya dilakukan sekali dalam kurun waktu tiga tahun, dan Indonesia pada survei yang dilakukan tahun 2018 menduduki urutan ke-74.

Salah satu indikator yang menyebabkan terhambatnya sistem pendidikan di Indonesia ialah sistem feodal yang merajalela. Hal ini didasarkan oleh eksistensi sistem yang hierarki sehingga para siswa tidak lagi memiliki kemampuan untuk berdiri sebagai siswa yang otonom.

Untuk lebih lengkapnya, saya telah mengumpulkan beberapa contoh dari feodalisme yang menjangkit dunia pendidikan Indonesia. Apa saja?

Siswa yang Berpikir Kritis Dianggap Sebagai Pembangkangan

Ilustrasi. Foto: Pexels/Andrea Piacquado
Ilustrasi. Foto: Pexels/Andrea Piacquado

Metode pengajaran konvensional menempatkan guru sebagai pemilik ilmu atau otoritas wawasan pengetahuan. Guru dianggap sebagai orang yang mewarisi ilmu, sedangkan siswa hanya objek pasif yang menadah pewarisan keilmuan.

Hal ini tidak selaras dengan keterampilan yang muncul di abad 21 yaitu 4C (critical thinking and problem solving, creativity and inovation, communication, collaboration). Mengapa demikian?

Karena dalam penerapannya para siswa hanya melakukan belajar mendengarkan, mencatat dan menghafal teks, sehingga perputaran yang sama mengeluarkan hasil para pelajar Indonesia yang tidak bisa menyampaikan gagasan pemikirannya sendiri.

Kehambatan tersebut didukung oleh stereotip masyarakat bahwa omongan guru adalah kesakralan yang harus diaminkan, dan yang menolak ialah sebuah pembangkangan. Padahal, seorang siswa memiliki hak untuk menginterupsi, memberi gagasan, berpendapat, dll. Sehingga ekosistem yang ada di sekolah akan lebih baik dan bijaksana.

Aturan Sekolah yang Tajam ke Pelajar, tapi Tumpul ke Pengajar

Ilustrasi. Foto: Pexels/Joshua Miranda
Ilustrasi. Foto: Pexels/Joshua Miranda

Suatu contoh konkret adalah ketika seorang siswa yang terlambat dan terpaksa dikenakan hukuman bahkan dicatat sebagai perilaku buruk, tetapi inkonsisten pada guru yang membuat aturan itu. Beberapa kasus yang terjadi di sekolah menampilkan para guru yang tidak malu datang di waktu yang terlambat.

Namun perlu digarisbawahi oleh penulis, bahwa sistem pendidikan saat ini tidak memberikan dispensasi bagi guru yang telat melakukan absen, sehingga kasus ini sudah jarang ditemukan. Dalam aturan lain misalnya, penggunaan gadget di sekolah.

Para siswa diatur dan diharamkan untuk menggunakannya, ini berlainan sisi ketika di kelas yang menampilkan fakta bahwa beberapa guru memberikan contoh bermain gadget ketika kegiatan belajar mengajar masih berlangsung.

Pada dasarnya, setiap aturan yang dibuat tak lain ialah untuk mengatur, mendisiplinkan, menertibkan, tetapi perlu diingat bahwa para pengajar memiliki tanggung jawab atas apa yang dia lakukan di hadapan pelajar.

Maka istilah guru, "digugu dan ditiru" tak hanya berorientasi pada murid yang wajib mengikuti gurunya. Melainkan sudah menjadi pertanggungjawaban guru untuk senantiasa memberi contoh positif bagi siswanya.

Tabik Hormat Lebih Dihargai Ketimbang Prestasi

Ilustrasi. Foto: Pexels/cottonbro studio
Ilustrasi. Foto: Pexels/cottonbro studio

Pernah mendengar ungkapan adab lebih tinggi daripada ilmu? Ini satu dari sekian konsep tidak tertulis yang ada di kurikulum pendidikan kita yang seharusnya bermaksud untuk mengingatkan kepada siswa bahwa dalam tahapan belajar antara moral dan akal harus mengalami keselarasan yang sama, dalam hal ini harus balance (seimbang).

Namun, konsep tersebut dijadikan silent killer (pembunuh diam-diam) kepada para siswa (sebagai korban) untuk membunuh perkembangan intelektualnya. Saat ini kekeliruan mengidap di diri para pelajar, bahwasanya selagi kita memberi tabik hormat kepada guru kita sudah pasti berilmu, tanpa mengembangkan bakat dan minatnya sebagai pelajar.

Padahal jika ditelaah lebih dalam, moral yang terekspresi ialah hasil dari pelajaran pendidikan yang dilakukan baik di rumah maupun di sekolah. Kunci dari keberlangsungan adab, moral, etika seorang siswa berakar dari pengetahuan dan wawasan keilmuan yang luas.

Saya menyimpulkan, bahwa memberi hormat kepada guru tak hanya dapat didefinisikan dari sikap maupun interaksi baik, sopan, dan beretika saja—tetapi juga dapat direpresentasikan dari prestasi, keunggulan berpikir, keberanian memberi gagasan, dan sudah semestinya para pengajar melihat hal tersebut.

Karena sudah menjadi sebuah kehormatan bagi pengajar ketika melihat murid-muridnya bisa berprestasi dari pengajaran yang diberikan.

Dengan rumitnya persoalan feodalisme sebagai penyakit sistem pendidikan Indonesia sebagaimana yang telah penulis sampaikan, lantas bagaimana solusinya?

Sulit untuk memberi solusi sepihak, perlu langkah bersama dari seluruh tatanan sosial masyarakat untuk menumbuhkan kepekaan terhadap pendidikan yang ada di Indonesia. Selain itu, barangkali kita sudah seharusnya menghapus cara kuno dengan mengindahkan pendidikan sebagaimana seharusnya.

Pendidikan yang bersih dari feodalisme, korupsi, nepotisme, dll. Pendidikan yang berakar pada ekosistem segar antara guru dan murid, saling berdialektika, berpikir kritis, dan dapat menjalankan kurikulum yang seharusnya. Dengan tidak hanya berputar pada mendengar, menulis, dan menghafal.

Dalam tulisan ini pula, saya sebagai penulis berharap para pembaca bisa dengan bijak dalam mencerna setiap tulisan yang ditulis, sehingga tercapai makna yang saya sampaikan.

https://kumparan.com/muhammad-zidan-ramdani/penyekat-feodalisme-sebagai-penyakit-sistem-pendidikan-indonesia-21JGIoFKKLM

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations