Perjalanan, Pergeseran Budaya, dan Akhir yang Menyebalkan
Oleh Fathin Robbani Sukmana
Ilustrasi Pergeseran Budaya yang Menyebalkan || Sumber : Pixabay.com
Ilustrasi Pergeseran Budaya yang Menyebalkan || Sumber : Pixabay.com

Sabtu lalu, saya dan istri menikmati sebuah perjalanan ke sebelah timur kota hujan, tujuannya adalah liburan untuk mengunjungi sebuah wahana baru yang isinya adalah miniatur dunia, selain itu liburan kali ini agar kami tidak jenuh di rumah.

Kami mengawali perjalanan di pagi menjelang siang hari, dalam perjalanan saya dan istri memilih jalan memotong agar tidak terkena macet, kami melihat berbagai warisan budaya dan juga kegiatan rutin masyarakat setempat yang mungkin sudah menjadi budaya juga.

Setelah tiga jam perjalanan, kami belum juga sampai ke lokasi, namun kami sudah lelah dan lapar karena melakukan perjalanan menggunakan motor, akhirnya istri saya mengusulkan untuk mampir ke tempat makan terlebih dahulu, dan saya pun menyetujuinya.

Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya saya dan istri sampai di sebuah rumah makan khas sunda, logonya bertuliskan merk brandnya dengan backround warna kuning, tapi ini bukan berarti saya lulusan UT yang almamaternya warna kuning juga, namun memang restoran tersebut cukup enak dan yang penting murah.

Tempat makan yang kami kunjungi menganut sistem rebutan kursi seperti di Senayan, bedanya ini bukan berdasarkan suara terbanyak namun berdasarkan kecepatan dan ketepatan untuk mendudukinya.

Pergeseran Budaya

Sepuluh menit terlewati, akhirnya kami melihat rombongan yang baru selesai makan. Saya serta istri langsung berlari dan duduk di tempat tersebut lalu meminta petugas untuk membersihkan alat makan pengunjung sebelumnya.

Sialnya baru kami duduk, ada pengunjung lain berjumlah dua orang duduk di sebelah kami, saya dan istri sebagai orang yang demokratis tentu mempersilakannya. Akan tetapi ternyata pengunjung itu tidak hanya berdua melainkan berenam, kami kaget bukan kepalang, dan salah satu dari mereka merebut tempat duduk kami sehingga membuat saya dan istri tidaklah nyaman.

Saya tentu misuh-misuh akibat perbuatan pengunjung yang terkuat di bumi itu, saya melihat mereka namun mereka menatap saya lebih tajam dan nyinyir tepat di depan muka saya, hampir saya temui dan gebrak meja rumah makan tersebut akan tetapi istri saya menenangkan emosi saya dan mengajak mencari tempat yang lain.

Saya kesal karena sudah mengantre sesuai budaya orang Indonesia namun malah direbut dan mereka nyinyir kepada saya, memang pergeseran budaya benar-benar terjadi saat ini, bahkan untuk hal kecil sekalipun seperti mengantre.

Setelah ada drama rebutan kursi, akhirnya kami memesan serta mengisi perut kami yang sudah lapar, saya dan istri sangat menikmati makanan di sana, apalagi sambal kecap pendamping ikan bakar serta sambal bawang yang melengkapi paru goreng.

Menjelang habisnya makanan yang sedang saya makan, istri dan saya sedang menikmati potongan terakhir lauk-lauk yang kami pesan, namun kenikmatan itu berubah ketika ada oknum rombongan mak emak yang memakai seragam lengkap, sebagian besarnya duduk di belakang meja kami, sebagian kecilnya bersebelahan bersama kami.

Kekesalan dimulai ketika mereka mulai berisik, tempat makan yang tadinya sunyi, nikmat menjadi riuh bagaikan pasar, belum lagi mereka yang duduk di samping kami, mengambil tisu di depan saya hingga kertas pesanan kami tanpa sepatah kata pun, ingat tanpa sepatah kata pun.

Andai saja ketika datang mereka sudah bisa bertanya apakah kursi ini kosong, dan maaf boleh minta tisunya hingga bertanya bagaimana cara memesannya, mungkin saya dan istri akan tersenyum ramah dalam menjawab pertanyaan mereka hingga mungkin menyapanya.

Akhir yang Menyebalkan

Setelah kami melangkah turun, saya dan istri sempat menengok kembali ke meja kami, dan sialnya rombongan mak emak sedang melihat kami dan nyinyir karena kami mendengar beberapa kata yang berkaitan dengan kami.

Pergeseran budaya memang terjadi, kami yang datang lebih dulu di meja makan, pertama diserobot oleh satu keluarga, kedua rombongan yang secara tidak langsung mengusir tanpa kata.

Jika ditarik lebih luas, kejadian yang saya dan istri alami ibaratnya orang yang benar namun dianggap salah karena kalah jumlah, saya jadi teringat perkataan Rupert Murdoch seorang pengusaha gurita media termasuk new york post dan Koran Wall Street Journal, ia mengatakan siapa yang menguasai media akan menguasai dunia.

Perkataan Murdoch sudah sangat terasa saat ini, jika menguasai media, memengaruhi sekelompok orang, maka yang benar pun akan terlihat salah, seperti yang saya alami ketika melakukan perjalanan kemarin.

Di Indonesia, pergeseran budaya sudah terlihat, orang yang sepenuhnya benar bisa disalahkan karena tidak memiliki kekuatan atau massa yang besar. Di media sosial misalnya, jika kita melakukan kebenaran, namun ternyata banyak massa yang membenci kita, maka sebagian besar pengguna media sosial akan ikut menghujat kita dan menganggap kita salah.

Maka wajar saja, dari pergeseran budaya ini akan menjadi akhir yang menyebalkan, walau kita benar akan tetap dianggap salah jika kebanyakan orang memandang salah. Apalagi menjelang Pemilu 2024, jangankan buzzer atau pengikutnya, Capres dan Cawapresnya saja saling klaim kebenaran serta saling nyinyir, bagaimana bangsa kita mau maju? Ndasmu Pitik.

https://kumparan.com/fathin-robbani-sukmana/perjalanan-pergeseran-budaya-dan-akhir-yang-menyebalkan-21nxNJBezNm

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations