Pilpres 2024: Tiga Poros Lebih Realistis
Oleh Agus Sutisna
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan

Merebaknya kembali wacana dua poros koalisi pilpres 2024 belakangan ini mengkonfirmasi bahwa spekulasi perihal keinginan mastermind di panggung belakang elektoral belum sepenuhnya meredup setelah dinamika prakandidasi berkembang demikian rupa.

Sebagaimana kita ketahui, pada fase awal tahapan pemilu dimulai beberapa bulan lalu, isu ini sempat ramai diperbincangkan hingga kemudian meredup.

Tetapi dengan dinamika yang sudah berlangsung sejauh ini, di mana pergeseran dan perubahan peta koalisi terjadi begitu rupa, nampaknya wacana dua poros koalisi tak akan mudah diwujudkan. Bagaimanapun pilihan formasinya: Prabowo-Ganjar atau sebaliknya, Prabowo-Anies atau sebaliknya, maupun Anies-Ganjar atau sebaliknya.

Bahkan jika salah satu dari dua poros yang dimaksud ini adalah penyatuan poros Prabowo-KIM (Koalisi Indonesia Maju) dan Ganjar-PDIP yang merupakan representasi dari kubu semangat keberlanjutan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Hal ini tetap sulit diwujudkan karena beberapa alasan yang mudah dibaca.

Pertama, aktor-aktor politik (Megawati dan Prabowo) dan partai utama (PDIP dan Gerindra) dari masing-masing kedua kubu sudah bulat keputusannya. PDIP-Megawati telah menetapkan Ganjar sebagai bakal capres, dan Gerindra-Prabowo telah menetapkan Prabowo sebagai bakal capres. Dan, ini tampaknya harga mati, tidak bisa ditawar.

Kedua, di masing-masing dari kedua kubu saat ini telah bergabung sejumlah partai pendukung koalisi. Partai-partai ini tentu saja memiliki alasan sendiri-sendiri mengapa memilih bergabung dan mengapa memilih untuk mendukung bakal capres tertentu. Penyatuan dua poros koalisi ini sangat mungkin akan set back dan bisa mengacaukan peta koalisi yang sudah terbangun solid.

Ketiga, sejauh ini masing-masing poros, baik Prabowo-KIM maupun ganjar-PDIP sudah memiliki basis masa elektoral yang solid, termasuk para relawan di dalamnya. Para pemilih dan relawan ini juga sama, mereka punya alasannya sendiri-sendiri yang tidak dapat diremehkan, mengapa mendukung Prabowo dan mengapa mendukung Ganjar.

Kemungkinan yang relatif lebih sulit diwujudkan tentu saja jika wacana dua poros itu arahnya adalah menarik kubu Anies-Cak Imin ke salah satu poros antara Prabowo dan Ganjar.

Alasan utamanya sederhana saja: Anies tidak mungkin bersedia jadi bakal cawapres. Ia akan berpikir panjang dan moralis, jika bersedia jadi bakal Cawapres (Prabowo atau Ganjar) dirinya akan dicap sebagai “pengkhianat kelas dewa”.

Karena dengan kesediaan itu, berarti Anies meninggalkan Cak Imin. Dan ini bisa menjadi fakta kedua ghosting politik yang dilakukan Anies setelah ia juga dianggap mencampakkan AHY sebelumnya.

Lebih Realistis

Oleh sebab itu alih-alih mendorong wacana pembentukan dua poros koalisi (dengan alasan kalkulasi elektoral apapun), hemat saya lebih bijak jika para pihak fokus menjaga dinamika prakandidasi yang sudah berlangsung cukup demokratis dan menghasilkan capaian-capaian realistis hingga per hari ini.

Demokratis karena terbukti proses prakandidasi sejauh ini berlangsung dalam suasana yang terbuka, partisipatif, dan ada ruang kebebasan yang cukup luas.

Ada isu mastermind di belakang panggung pemetaan poros-poros koalisi, ada ambisi-ambisi tertentu yang melawan prinsip-prinsip luhur berdemokrasi, dan langkah-langkah “akrobatik” para elite—tentu harus dimaknai sebagai bagian dari dinamika politik, bagian dari esensi berdemokrasi.

Dan faktanya hingga sekarang, bangsa ini sudah memiliki tiga poros bakal calon-calon pemimpin lima tahun ke depan, yang masing-masing kian solid bersama basis-basis pemilih elektoralnya. Ini capaian yang realistis. Realistis karena ketiga bakal poros inilah yang barangkali memang merepresentasikan preferensi masyarakat saat ini.

Kemunculan Prabowo sebagai bakal capres (entah dengan siapapun nanti berpasangan) adalah realistis. Ia adalah Ketua Umum partai pemenang kedua pemilu terakhir. Paling berpengalaman dalam kontestasi Pilpres dibanding Ganjar maupun Anies.

Jika saat ini tampil sebagai bakal capres dengan mengusung semangat keberlanjutan tentu wajar. Ia hampir lima tahun di dalam pemerintahan Jokowi, tahu banyak apa yang selama ini dikerjakan pemerintah—termasuk dirinya sebagai bagian dari pemerintah—dan meyakini bahwa arah kebijakan pemerintahan Jokowi sudah on the track dengan kebutuhan bangsa ini. Biarkan Prabowo fokus dengan keyakinan politiknya.

Pun demikian juga dengan Ganjar. Ia salah satu kader terbaik PDIP, partai pemenang dua kali pemilu terakhir. Berpengalaman dalam pemerintahan termasuk di parlemen.

Jika saat ini sebangun dengan Prabowo, mengusung semangat keberlanjutan juga wajar. Partainya adalah pengusung utama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, saban waktu pastinya paling intens berkomunikasi perihal arah kebijakan pemerintah dan pelaksanaan program-program pembangunan.

PDIP yakin pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sudah pada rel yang tepat dengan kebutuhan bangsa ini. Ganjar diamanahi partainya untuk melanjutkan arah kebijakan ini.

Bahkan juga Anies. Kemunculannya dalam orbit kontestasi pilpres juga realistis. Ia berpengalaman di pemerintahan sebagai gubernur dan menteri. Dipercaya sebagian publik sebagai sosok intelektual berintegritas, leader yang tangguh sekaligus manajer yang cerdas.

Jika posisi politik elektoralnya mengusung agenda besar perubahan tentu juga bukan tanpa alasan. Ia melihat arah kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tidak sepenuhnya tepat. Ada banyak sisi yang harus diubah dan diperbaiki demi kepentingan masa depan bangsa ini. Biarkan Anies dengan keyakinan sikap politiknya.

Bukan Pilihan Bijak

Hal penting yang perlu dipahami para elite dan partai politik—terutama mereka yang masih berpikir untuk memaksakan wacana dua poros menjadi kenyataan—bagaimanapun pilihan formasinya adalah bahwa ketiga poros bakal capres ini telah memiliki basis pemilih sendiri-sendiri.

Pemilih-pemilih mereka, meski pasti tidak semua, adalah warga negara yang literate secara politik. Karena itu, preferensi mereka terhadap Prabowo atau Ganjar atau Anies mestinya merupakan pilihan sikap rasional.

Maka upaya paksa penyatuan dua poros (sekali lagi bagaimanapun opsi formasinya) hemat saya bukanlah pilihan yang bijak. Pilihan ini tidak menghargai sikap para pendukung dari masing-masing poros bakal capres dan sikap-sikap politiknya.

Pemaksaan ini potensial melahirkan kekecewaan mereka, lalu memicu sikap antipati terhadap pemilu, dan ujungnya golput bisa tumbuh subur pada 14 Februari 2024 mendatang.

https://kumparan.com/tisna1965/pilpres-2024-tiga-poros-lebih-realistis-21FwBOXH3j0

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations