Rendahnya Konsumsi Ikan di Indonesia
Oleh Yusixka Warih Satyaningrum
Ilustrasi ikan salem atau Pacific Mackerel. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi ikan salem atau Pacific Mackerel. Foto: Shutter Stock

Rendahnya Tingkat Konsumsi Ikan

Sejak 10 tahun terakhir tingkat konsumsi ikan di Indonesia mengalami kenaikan meski tidak terlalu tinggi. Seperti yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, angka konsumsi ikan di Indonesia sebesar 55,37 kilogram (kg) per kapita pada 2021.

Jumlah itu meningkat 1,48 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar 54,56 kg/kapita. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 yang hanya mencapai 32,25 kg per kapita per tahun.

Meski telah terjadi peningkatan angka konsumsi ikan namun, angka tersebut tetap lebih rendah jika dibanding negara lain seperti Jepang yang telah mencapai 140 kg/kapita/tahun meskipun sumber daya laut yang dimiliki Jepang tidak sebesar Indonesia.

Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat konsumsi ikan di negara kita yaitu antara lain:

  1. Budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang belum familier dengan menu ikan dalam sehari-hari. Budaya agraris masyarakat cenderung lebih memilih daging daripada ikan. Di masyarakat agraris, daging sapi, ayam, telur dan susu lebih disukai daripada ikan. Padahal, protein ikan lebih tinggi (52,7 persen) dibandingkan daging sapi (19,6 persen) serta telur dan produk susu (23,2 persen).

  2. Terbatasnya ketersediaan dan variasi jenis ikan yang tersedia di pasar domestik membuat pilihan ikan yang tersedia terbatas dan terkadang memiliki harga yang mahal.

Monopoli Belanda Terhadap Sumber Daya Kelautan

Ilustrasi kapal nelayan Foto: moodboard/Thinkstock
Ilustrasi kapal nelayan Foto: moodboard/Thinkstock

Pada masa kolonial Belanda masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa kerajaan bahari nusantara, seperti Bugis, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar kebaharian Ammana Gappa di Sulawesi Selatan.

Praktik kolonialisme yang dilakukan Belanda selama masa penjajahan telah membentuk karakter dan kebiasaan yang cukup kuat di masyarakat kita. Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim sejak zaman penjajahan seharusnya tidak asing dengan berbagai komoditas hasil laut.

Kedatangan Belanda yang bermaksud untuk menguasai wilayah nusantara dengan sengaja membuat batasan akses masyarakat terhadap jalur perdagangan yang terutama jalur pelayaran dan pelabuhan.

Monopoli Belanda terhadap akses pelabuhan dan industri kemaritiman memutus akses antara wilayah yang jauh dari lautan dengan wilayah pesisir. Terutama dengan proyek kebaharian Belanda untuk menguasai jalur perdagangan laut dan pengembangan wilayah agraris untuk mendapatkan hasil bumi sebagai komoditas yang bernilai jual tinggi dalam perdagangan rempah-rempah di Eropa

Sehingga pada umumnya penduduk nusantara dan pulau Jawa pada khususnya telah terbiasa melihat produk pertanian seperti daging sapi, daging kerbau, telur dan ikan air tawar sebagai sumber protein hewani yang utama.

Terlebih budaya kuliner yang dibawa oleh kaum penjajah yang lekat dengan sajian masakan berbahan dasar daging sapi maupun ayam membuat hidangan yang terbuat dari kedua bahan tersebut adalah sajian berkelas yang hanya dinikmati oleh kalangan dengan strata sosial tinggi dan berkelas saja.

Pengaruh budaya tersebut terus terbawa dalam sejarah panjang masyarakat Indonesia hingga kini. Pandangan bahwa daging sapi, daging ayam dan produk agraris yang sejenis mempunyai derajat kelas sosial yang lebih tinggi dibanding sumber protein yang lain.

Budaya dan cara pandang masyarakat tersebut turut lestari seiring dengan praktik kebijakan pemerintahan penjajah yang bersifat agraris sentris tetap melekat hingga Indonesia merdeka dan selama pemerintahan Orde Baru sehingga perkembangan industri kelautan dan perikanan terlambat mendapatkan prioritas pembangunan.

Wilayah laut Indonesia yang sangat luas dan kaya akan diversifikasi sumber daya laut seharusnya menjadikan Indonesia menjadi negara penghasil sumber daya laut yang lebih baik dibanding negara ASEAN. Namun, nyatanya secara konsumsi dalam negeri sendiri hasil laut tidak populer sebagai hidangan rutin sehari-hari.

Kesadaran akan besarnya potensi kelautan baru muncul setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru. Kebijakan yang mendukung dan mengekspos sumber daya kelautan mulai digalakkan sebagai solusi atas berbagai masalah sosial dan ekonomi.

Beberapa masalah tersebut antara lain tingginya angka stunting. Keseimbangan gizi dalam mendukung tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa dan ketergantungan import sapi untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN)

Ilustrasi sajian ikan goreng dan sup ikan Warung Mak Beng, Sanur, Bali. Foto: Neng etta/Shutterstock
Ilustrasi sajian ikan goreng dan sup ikan Warung Mak Beng, Sanur, Bali. Foto: Neng etta/Shutterstock

Adalah sebuah gerakan moral yang memotivasi masyarakat untuk mengkonsumsi ikan secara teratur dalam jumlah disyaratkan bagi kesehatan agar terbentuk manusia Indonesia yang sehat, kuat dan cerdas yang dicanangkan pada tahun 2014 selama masa kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri.

Pencanangan GEMARIKAN bukan tanpa alasan, tingginya angka stunting di Indonesia salah satunya dipicu oleh asupan protein yang masih dibawah standar. Seperti yang diketahui ikan adalah salah satu sumber protein dengan tambahan nilai gizi lain yang cukup lengkap.

Kadar protein ikan segar cukup tinggi, seperti ikan asin 42-50 persen, ikan asap 30 persen, lemuru 20,2 persen, ikan mas 16 persen, pindang 27 persen, cakalang 24,2 persen, tuna 23,7 persen, bandeng 21,7 persen, udang segar 21 persen, dan udang kering 62,4 persen. Kandungan lemak ikan rendah, umumnya di bawah 5 persen. Ikan juga kaya akan kalsium, fosfor, besi, Vitamin A dan B1.

Sehingga penggalakan kesadaran masyarakat melalui GEMARIKAN diharapkan secara signifikan dapat mengurangi angka stunting serta mendukung pembentukan generasi penerus yang cerdas dan sehat.

Sebagai upaya untuk terus meningkatkan minat konsumsi ikan masyarakat telah dilakukan acara tahunan dalam berbagi bentuk pameran, bakti sosial maupun pemberian edukasi melalui sosialisasi tentang manfaat makan ikan.

Pemerintah sendiri menargetkan tingkat konsumsi ikan mencapai 60 kg per kapita per tahun pada tahun 2024. Pada tahun 2021 terpantau tingkat konsumsi ikan telah mencapai 55,37 kg per kapita per tahun, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta instansi terkait optimis bahwa angka tersebut akan terus naik dapat mencapai target yang diinginkan.

Untuk mengubah cara pandang dan kebiasaan masyarakat agar terbiasa untuk menyajikan berbagai hasil laut terutama ikan dalam menu santap sehari-hari bukan hal yang mudah dan memerlukan waktu yang tidak singkat.

Sejak pencanangan GEMARIKAN pada tahun 2004 hingga hampir dua dekade terlewati telah menunjukkan hasil yang cukup baik walaupun masih jauh dari pencapaian dari negara tetangga.

Mengubah kebiasaan yang telah melekat pada budaya masyarakat harus dilakukan secara berkesinambungan dan simultan dengan pemenuhan faktor pendukung yang lain seperti pemenuhan akses dan sarana prasarana pendukung dalam memenuhi ketersediaan ikan yang mudah dijangkau masyarakat.

Menyediakan Ikan Berkualitas dan Variatif dengan Harga Terjangkau serta Mudah Didapat

Ilustrasi ikan salem atau Pacific Mackerel. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi ikan salem atau Pacific Mackerel. Foto: Shutter Stock

Ketersediaan beberapa jenis makanan laut berkualitas tinggi seperti tuna, udang, kepiting, gurita, dan sotong lebih banyak dijual di pasar internasional karena harganya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasar domestik.

Hal tersebut membuat pilihan ikan laut yang ada di pasar kurang beragam salah satu penyebabnya dikarenakan infrastruktur yang belum memadai dalam mendukung rantai pasok produk perikanan dan kelautan.

Kurangnya infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendistribusikan ikan berkualitas tinggi ke konsumen. Shelf life produk perikanan terutama ikan segar cenderung pendek, sehingga penanganan ikan dari proses panen atau penangkapan dari kapal hingga ke tangan konsumen harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk menjaga kualitasnya. Sehingga masyarakat dapat mendapatkan ikan konsumsi dengan kualitas yang baik dengan harga yang pantas.

Infrastruktur, khususnya pendingin, sangat penting dalam menciptakan rantai pasokan yang efektif dan efisien. Dengan infrastruktur yang memadai, ketersediaan komoditas perikanan berkualitas tinggi bagi konsumen domestik dapat lebih terjamin.

Durasi penyimpanan komoditas ikan umumnya relatif sebentar karena karakteristik produk tersebut yang banyak di dominasi oleh air sehingga dapat mudah rusak oleh inkonsitensi suhu selama masa penyimpanan. Oleh karena itu, jumlah pendingin perlu diperbanyak. Jika ketersediaan pendingin bagi produsen bisa lebih baik, khususnya bagi masyarakat lokal dan nelayan kecil, mereka dapat menjual produk langsung ke konsumen dan menghindari keterlibatan tengkulak untuk menekan biaya distribusi. Sehingga produk dapat sampai kepada konsumen dengan harga yang lebih murah, kualitas yang baik dan tetap menguntungkan bagi pelaku usaha perikanan

Selain pemenuhan sarana dan prasarana dalam mendukung ketersediaan ikan, dalam praktiknya proses tersebut juga terkendala oleh praktik perikanan ilegal. Perikanan ilegal berkontribusi pada turunnya ketersediaan, keberlanjutan, dan kualitas ikan di laut, yang kemudian akan berdampak pada stok ikan konsumsi.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah beberapa komoditas makanan laut dengan nilai ekonomi tinggi semakin berkurang di laut lepas akibat penangkapan yang berlebihan (overfishing). Lebih parahnya lagi, banyak nelayan yang melakukan praktik ilegal seperti menggunakan bom atau jaring insang untuk menangkap ikan dalam jumlah besar.

Karena praktik-praktik yang tidak berkelanjutan ini, kualitas komoditas ikan pun semakin menurun. Saat ini, penggunaan jaring insang sudah dilarang di banyak negara karena merusak insang sehingga membahayakan ikan.

Kolaborasi Aktif Pemerintah dan Masyarakat Perikanan dalam Keberhasilan GEMARIKAN

Ilustrasi ikan teri. Foto: Shutterstock
Ilustrasi ikan teri. Foto: Shutterstock

Pemilihan kebijakan yang mendukung iklim ekonomi masyarakat perikanan adalah hal yang mutlak harus diwujudkan agar memudahkan akses masyarakat untuk mendapatkan sumber daya ikan secara cepat dan mudah.

Dengan memberikan fasilitas dan kemudahan yang dapat membantu pelaku usaha perikanan untuk melakukan suplai ketersediaan ikan di pasar domestik tidak hanya akan berdampak dalam upaya meningkatkan ekonomi pelaku usaha perikanan namun juga adalah hal mutlak untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang gemar makan ikan.

Jika pasar domestik menyediakan ikan dengan kualitas yang baik, harga yang terjangkau dan dalam jenis yang variatif diharapkan dapat memicu masyarakat untuk terbiasa memasukkan ikan dalam menu sehari-hari.

Lebih lanjut jika kebiasaan tersebut dapat terus berlangsung maka perubahan cara pandang dan kebiasaan masyarakat terhadap ikan sebagai sumber protein hewani yang biasanya bersifat subtitusi dapat beralih menjadi sumber protein utama. Sehingga akan menaikkan minat konsumsi ikan seperti yang sudah ditargetkan oleh pemerintah.

https://kumparan.com/yusixkawarih/rendahnya-konsumsi-ikan-di-indonesia-1zB8YHML8jT

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations