Seri Membangun Desa: Paradoks Urbanisasi (1)
Oleh Agus Triyono
Penulis (kiri) pada salah satu sesi makan siang di Kampung Edukasi, Duren Sari, Cepogo.
Penulis (kiri) pada salah satu sesi makan siang di Kampung Edukasi, Duren Sari, Cepogo.

Dalam beberapa diskusi terbaru, arus urbanisasi yang masif terjadi beberapa dekade lalu, telah menyebabkan beberapa ketimpangan di desa. Hal tersebut misal terlihat pada ketimpangan demografi yang dapat dilihat dari komposisi jumlah penduduk, mata pencaharian, serta perubahan bangunan fisik rumah masyarakat desa.

Perubahan signifikan dari aspek jumlah penduduk terlihat dari berkurangnya usia produktif di desa karena hampir mayoritas mereka yang telah menyelesaikan studi tingkat menengah ataupun atas, akan merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.

Alhasil, di desa hanya dihuni oleh mereka yang sudah dalam usia lanjut dengan beberapa keterbatasan serta usia anak-anak (dalam beberapa kasus mereka ditinggalkan oleh orang tuanya yang merantau ke luar kota).

Jika sudah demikian, maka peran orang tua dalam mendidik akan tergantikan oleh kakek dan nenek. Terlebih jika penggunaan teknologi digital mulai merajalela, maka sisi pengasuhan digantikan oleh teknologi.

Ilustrasi desa di Indonesia. Foto: Ukiq Outdsign/Shutterstock
Ilustrasi desa di Indonesia. Foto: Ukiq Outdsign/Shutterstock

Aspek mata pencaharian juga mengalami ketimpangan. Masyarakat desa yang sangat akrab dengan dunia pertanian dan perkebunan, kini mengalami krisis pekerjaan. Sebagian orang lebih suka bekerja di pabrik dengan gaji yang pasti ataupun berdagang di luar kota.

Bertani dan berkebun dianggap oleh sebagian masyarakat sering mengalami ketidakpastian, mulai dari penanaman, panen dan juga penjualan. Terlebih jika tengkulak sudah menguasai penjualan.

Belum lagi efek yang muncul adalah: rumah hanya sebagai tempat istirahat. Bagaimana tidak, mereka berangkat pagi dan pulang malam hari, akibatnya interaksi sosial dengan sesama warga menjadi hilang.

Bagi mereka yang sudah bekerja di kota, dengan pendapatan yang lebih dari cukup dan mereka bisa menabung, maka yang mereka lakukan adalah melakukan renovasi secara mayor rumah mereka yang ada di desa.

Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka telah berhasil bekerja di kota. Akibatnya, bentuk bangunan rumah di desa sudah mulai kehilangan penciri. Parahnya lagi, kegiatan ini akan memicu orang lain melakukan hal yang sama: bekerja di kota dan merombak rumah. Alhasil, desa kehilangan salah satu identitasnya.

Jika hal tersebut terus menerus dibiarkan, maka desa yang kaya akan nilai budaya, tradisi, kerukunan dan hal positif lainnya bisa dipastikan akan punah. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menjaga desa agar menjadi tempat yang nyaman, terjaga tradisinya dan bisa memberikan jaminan hidup warganya?

https://kumparan.com/agus-triyono-1692589383431674504/seri-membangun-desa-paradoks-urbanisasi-1-214ldFCEb52

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations