Indonesia Krisis Pendidikan Moral, ke Mana Orang Tua dan Guru?
Oleh Malahayati Ulimas
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock

Pendidikan moral menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Puluhan kasus bullying di lingkungan pendidikan viral di media sosial. Tidak sedikit korban mengalami luka berat dan harus dirawat di rumah sakit, serta mengalami trauma dan tidak ingin masuk ke sekolah.

Kementerian Pendidikan menjelaskan bahwa anak Indonesia wajib belajar 12 tahun, yakni SD, SMP, dan SMA. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan oleh para orang tua kepada anaknya dengan harap anaknya bisa menjadi sukses di masa depan.

Namun hal ini selalu menjadi tantangan bagi para pendidik, terutama guru. Jika di sekolah, guru memberikan mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang ada, membimbing dan menasihati siswa sesuai dengan norma yang berlaku, namun perundungan atau bullying sangat tidak bisa dihindari.

Di Indonesia, tercatat lebih dari 2.355 kasus kekerasan kepada anak hingga Agustus 2023, sebagaimana dikutip dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

Hal ini sangat miris. Sebab tidak hanya kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis dan kekerasan seksual serta banyak lagi kasus yang tidak diadukan ke KPAI—mengingat bahwa korban malu, trauma, dan takut jika ingin melapor.

Contoh kasus bullying yang terjadi baru-baru ini adalah perundungan di salah satu SMP di Cilacap, Jawa Tengah. Korban mengalami luka berat dan harus di rawat di rumah sakit. Pelaku tidak hanya menonjok, memukul atau menampar, tetapi juga memaki dan mencaci korban tersebut.

Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock

Kemudian kasus guru dilukai dengan senjata tajam oleh muridnya di salah satu sekolah daerah Demak, dikarenakan murid tidak terima mendapat nilai jelek. Hal ini menjadi sorotan dari semua aspek, termasuk moralitas.

Ketimpangan relasi juga menjadi masalah, para pelaku yang memiliki relasi tinggi dan menyalahgunakannya, akan lebih mudah lolos dari hukuman, bahkan bisa dibebaskan.

Kekerasan juga tidak hanya terjadi di SMP saja, namun di SMA dan bahkan siswa Sekolah Dasar pun menjadi korban. Sekolah yang diharapkan menjadi tempat menimba ilmu bisa menjadi tempat yang tidak nyaman untuk belajar.

Lalu, di mana peran guru dan orang tua dalam moralitas? Generasi X (1965-1980) dan generasi milenial (1981-1996) masih memiliki pemikiran bahwa “belajar di sekolah, itu tugas guru, tugas orang tua hanya membantu biaya”. Pemikiran ini sangat tidak relevan dan tidak masuk akal, mengingat sejak lahir, sosok ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.

Jika hal ini tidak segera ditidaklanjuti dan tidak diperhatikan, masa depan Indonesia akan krisis moralitas, tidak akan ada lagi “adab lebih tinggi dibanding dengan ilmu”. Kedua pihak, baik orang tua maupun guru, sama-sama memberi nasihat dan pengajaran secara langsung, tidak mengunakan berbagai macam teori.

Membangun Moralitas di Rumah dan Sekolah

Ilustrasi remaja dan orang tuanya. Foto: Shutterstock
Ilustrasi remaja dan orang tuanya. Foto: Shutterstock

1. Di Rumah

Pertama, orang tua memberikan beberapa aturan dasar minimal yang harus dilakukan oleh anak, misalnya tidak menghina teman yang berbeda status sosial, berbeda suku, bahasa dan agama, bergaul dengan baik dan berinteraksi dengan kata-kata normal, tidak menyinggung.

Kedua, orang tua harus tegas terhadap informasi yang diterima oleh anak, termasuk informasi dari internet. Tidak semua informasi yang ada di internet harus diterima mentah-mentah.

Ketiga, mendorong anak untuk dekat kepada tuhannya, selalu meminta perlindungan kepada tuhan, dan bersyukur dengan keadaan yang ada.

2. Di Sekolah

Pertama, guru memantau dan mengawasi perilaku, pergaulan para siswanya. Kedua, diberikan arahan dan aturan untuk tidak asal berbicara, harus dipikir terlebih dahulu sebelum disampaikan.

Dan ketiga, tidak hanya memberi arahan, namun guru juga harus menjadi contoh yang baik bagi siswanya. Guru bisa mencontohkan langsung bagaimana bermoral yang baik, seperti bertutur kata, bergaul, dan berinteraksi.

Ilustrasi anak SMA belajar. Foto: Dok. Pemprov Jateng
Ilustrasi anak SMA belajar. Foto: Dok. Pemprov Jateng

Masih banyak lagi PR bagi guru dan orang tua, krisis moralitas juga bisa diakibatkan keadaan keluarga, misal dari keluarga miskin yang terpaksa mencuri, keluarga yang tidak harmonis dan mengakibatkan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) juga bisa berdampak pada psikis dan moralitas anak.

Demi Indonesia emas 2045, semua aspek pembelajaran harus kompak dan sama-sama berbenah, membangun agar terciptanya lingkungan pendidikan yang layak, baik dan sesuai dengan norma.

https://kumparan.com/malahayatiu18/indonesia-krisis-pendidikan-moral-ke-mana-orang-tua-dan-guru-21PtRSd4dr0

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations