
Aktivis Lingkungan Tolak TPL Taput, Dapat Kiriman Paket Bangkai Burung
Aktivis Lingkungan Delima Silalahi Terima Paket Misterius Berisi Burung Mati
Delima Silalahi (45), aktivis lingkungan dari Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, kembali mendapat intimidasi berupa pengiriman paket berisi bangkai burung yang diantar tanpa penerima langsung ke rumahnya di Desa Parik Sabungan, Kecamatan Siborong-borong. Paket kecil tersebut ditemukan tergeletak di meja perpustakaan di rumahnya pada pagi hari.
Rocky Pasaribu, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan rekan Delima, menjelaskan paket itu pertama kali diketahui oleh pekerja rumah tangga sebelum kemudian diberitahukan kepada Delima. Meski kebingungan karena tidak memesan barang apa pun, Delima membuka paket itu dan terkejut menemukan burung mati yang masih berdarah.
"Isinya burung mati yang disayat dan berlumuran darah, tanpa kepala yang terpisah," ujar Rocky. Tidak ada identitas pengirim pada paket, hanya tertulis alamat kepada Delima.
Merasa terkejut dan syok, Delima bersama keluarganya akhirnya membakar bangkai burung tersebut agar tidak menimbulkan rasa takut di rumah.
Teror Simbolik dan Dugaan Motivasi Di Baliknya
Rocky menduga bahwa pengiriman paket tersebut merupakan bentuk teror yang terencana untuk membungkam Delima dan aktivis lain yang vokal menentang keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Delima dikenal sebagai mantan direktur KSPPM dan aktif menyuarakan penutupan perusahaan yang dianggap merusak lingkungan ini.
"Ini pesan simbolik yang menyerang kebebasan Delima. Bagi masyarakat Batak, burung melambangkan kebebasan untuk terbang ke mana pun. Pengiriman bangkai burung ini seolah-olah mengancam kebebasan tersebut," jelas Rocky.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya demonstrasi pada 26 Mei di Kabupaten Toba oleh sekelompok buruh TPL yang bahkan menuntut penangkapan Delima dan beberapa aktivis lingkungan lain, sehari sebelum aksi besar yang digelar di Pemkab Taput pada 27 Mei 2025.
Kontroversi dan Dampak Lingkungan PT Toba Pulp Lestari
Kontroversi terkait TPL sebenarnya sudah berlangsung lama. Rocky menyebut bahwa sejak era 1980-an, kegiatan perusahaan ini sudah menuai protes dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan akibat kerusakan ekologi dan perampasan tanah yang semakin marak.
"Perusahaan ini tidak hanya merusak aliran sungai dan lingkungan, tetapi juga sering melanggar hukum meski berdalih memiliki hak konsesi resmi," kata Rocky.
Sementara itu, Corporate Communication Head TPL, Salomo Sitohang, menegaskan bahwa TPL telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun dengan komitmen membangun komunikasi terbuka bersama masyarakat melalui dialog dan berbagai program kemitraan.
Salomo menolak tuduhan bahwa perusahaan tersebut menyebabkan bencana ekologi, dan menekankan bahwa seluruh operasional sudah sesuai standar yang berlaku.
Comments
0 comment