Terperangkap di La Bouche de La Loi
Oleh Aditya Rizky Nugroho
Ilustrasi: Media Ajaib Canva
Ilustrasi: Media Ajaib Canva

Keberlakukan hukum mengejar tiga aspek, pertama keadilan, kedua kebermanfaatan, dan ketiga kepastian. Ketiga aspek ini bekerja secara hierarki dengan saling berkaitan satu sama lain. Dalam konsep tujuan hukum, keadilan menjadi yang tertinggi, sebab dalam keberlakuannya, suatu hukum yang adil sudah pasti memberikan kebermanfaatan dan kepastian hukum.

Namun, realitanya tidak berkata yang sama. Dewasa ini, hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari kepastian dari segala sesuatu yang jauh dari kata keadilan.

Keadilan pada awalnya bukanlah suatu hal yang dikejar dalam penegakkan hukum. Awalnya, kepastianlah yang menempati kasta tertinggi dari tujuan hukum. Para fungsionalis hukum terdahulu didoktrin bahwa suatu Undang-Undang (UU) yang telah dibentuk pada substansinya telah mengandung nilai-nilai keadilan, sehingga tidak diperlukan interpretasi yang mendalam ketika menerapkan peraturan tersebut.

Pola pikir ini membuat para fungsionalis hukum hanya menegakkan hukum selayaknya apa yang telah dituangkan dengan UU tanpa peduli apakah peraturan tersebut telah mengandung keadilan atau tidak.

Keadaan ini yang dikritisi oleh Gustav Radbruch, seorang filsuf dan yuris asal Jerman. Ia mencetuskan Formula Radbruch yang mengonsep tentang hubungan antara keadilan dan kepastian hukum, terutama dalam konteks ketidakadilan yang mungkin timbul dari hukum positif yang sah secara formal. Munculnya Formula Radbruch ini bukanlah tanpa alasan.

Formula ini muncul sebagai pengalaman Radbruch di era pemerintahan Nazi yang melihat suatu UU yang sah secara formal difungsikan untuk melakukan tindakan yang brutal dan tidak manusiawi. Dari keadaan ini, Radbruch berargumen bahwa kepastian hukum bukanlah nilai yang mutlak, dan ketidakadilan yang terjadi dari substansi UU dapat dijadikan justifikasi untuk tidak menerapkan hukum positif formil yang ada.

Konsep ini berusaha memberikan landasan filosofis bagi hakim untuk mempertimbangkan dampak moral dan etika dalam memutus suatu perkara hukum. Formula ini pada dasarnya menekankan bahwa keadilan substansial harus dikedepankan demi kesejahteraan dan keadilan masyarakat umum.

Membelenggu Keadilan

Formula Radbruch telah membuat terobosan dalam pertentangan antara keadilan dan kepastian. Dari formula tersebut, harapannya doktrinisasi aliran positivisme yang sering digaung-gaungkan oleh para fungsionalis hukum terdahulu dapat dihilangkan. Lalu bagaimana konteksnya dalam Indonesia? Sebelum jauh membahas tersebut kita perlu mengetahui terlebih dahulu bagaimana sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia merupakan warisan dari era Hindia Belanda. Sistem hukum yang dianut di era Hindia Belanda pun bukanlah suatu sistem yang baru. Jika kita telusuri akarnya maka sistem hukum Hindia Belanda mengakar kuat ke era Kekaisaran Romawi. Sistem hukum yang dimaksud ini bernama Eropa Kontinental.

Sistem hukum di era Kekaisaran Romawi merupakan dasar dari terbentuknya sistem Eropa Kontinental. Dasar dari pemikiran ini dapat dilihat di abad VI Masehi ketika Kekaisaran Romawi mengeluarkan Corpus Juris Civilis yang merupakan kaidah hukum Romawi yang terkodifikasi. Peter De Cruz (1999) mengatakan bahwa Corpus Juris Civilis merupakan arahan dari Raja Justinian dengan sumber substansinya berasal dari keputusan dan maklumat raja-raja sebelumnya dengan modifikasi yang sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi saat itu.

Keadaan sistem hukum di Romawi yang seperti itu mengilhami banyak sistem hukum di negara lain walau dengan modifikasi-modifikasi tertentu yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Ini pula yang terjadi di Indonesia.

Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental. Artinya, tata hukum Indonesia sangatlah terkodifikasi. Melalui kodifikasi ini, hukum menjadi lebih terstruktur dan dapat diakses dengan mudah dengan masyarakat. Selain dari itu, konsekuensi dari kodifikasi hukum ini membuat para fungsionalis hukum harus menginterpretasi suatu perkara dalam proses pengambilan keputusan hukum sesuai dengan teks hukum yang ada.

Perkara ini yang menjadikan sistem Eropa Kontinental dianggap lebih mengejar kepastian daripada keadilan. Kondisi seperti ini sebenarnya berusaha ditambal dengan opsi preseden (putusan hakim) yang juga diperbolehkan dalam sistem ini. Namun, preseden yang ada hanya sebagai pelengkap UU tanpa ada kekuatan mengikat untuk suatu perkara hukum yang sama.

Terkodifikasinya sistem hukum dapat kita artikan bahwa perkembangan hukum yang ada sangat bergantung dengan proses legislasi di parlemen. Lebih lanjut, hal ini dapat diartikan bahwa hukum yang ada tidak lepas dengan unsur politis yang terkadang jauh aspek-aspek ilmiah dan empiris dalam pembentukan hukum. Keadaan ini dapat menyebabkan suatu peraturan yang dikeluarkan tidak memiliki keadilan yang substantif bagi masyarakat luas.

Jikalau kita tarik dari sejarahnya pun, awal dari kodifikasi yang terjadi di hukum Romawi merupakan hasil dari maklumat raja-raja. Raja sebagai penguasa sudah jelas menghasilkan maklumat yang melindungi kekuasaannya. Hukum Indonesia sekarang pun memiliki pola yang sama dengan era Romawi. Hukum yang dikeluarkan di parlemen dewasa ini hanya sebagai instrumen untuk melindungi kekuasaan para penguasa. Partisipasi yang berarti dari masyarakat pun hanya menjadi suatu syarat formil saja. UU yang disahkan hanya berpihak kepada penguasa tanpa ada keberpihakan pada masyarakat luas.

Jeleknya proses legislasi UU yang terkodifikasi diperparah dengan para fungsionalis yang cenderung la bouche de la loi. Fungsionalis hukum yang ada di Indonesia sekarang cenderung menjadi seperti terompet UU yang hanya menafsirkan suatu peraturan tanpa memperhatikan ketidakadilan yang dapat terjadi.

Kondisi ini membuat apa yang terjadi di era Radbruch seolah-olah hanya lelucon semata. Keengganan para fungsionalis hukum dalam mempertimbangkan nilai-nilai moral dan keadilan dalam praktiknya hanya memperkuat ketidaksertaan masyarakat kecil di hadapan hukum.

Kondisi ini, ditambah dengan UU yang tidak memiliki keadilan substantif membuat hukum yang ada menjadi instrumen legal untuk merepresi masyarakat. Hukum yang ada hanya menjadi alat untuk menundukkan masyarakat agar dapat dikontrol oleh para penguasa.

Untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya refleksi yang mendalam terhadap sistem hukum kita. Perlu kita pertanyakan kembali, apakah sistem hukum yang kita anut ditambah dengan pelaksanaannya sekarang telah benar-benar mencapai keadilan yang diidam-idamkan?

Perlu digarisbawahi pula bahwa pada dasarnya suatu sistem hukum bersifat netral. Artinya baik-buruknya sistem hukum itu tergantung dengan pelaksanaannya. Untuk mengatasi hal tersebut para fungsionalis hukum harus didoktrin untuk lebih mengedepankan keadilan apabila terjadi benturan antara moral dan kepastian hukum. Doktrinisasi harus dilakukan sedini mungkin.

Pengajaran yang dilakukan di kelas-kelas fakultas hukum pun perlu ditekankan bahwa moral dan etika lebih superior daripada hukum itu tersendiri. Selain itu, di dalam proses legislasi perlu melibatkan partisipasi yang lebih komprehensif dengan masyarakat umum. Partisipasi yang terjadi jangan hanya dijadikan sebagai suatu syarat formil saja dalam pembentukan UU. Dengan pemikiran ideal ini maka keadilan yang didamba-dambakan dapat tercapai. Sebab buat apa ada hukum jika tidak adil bagi semua?

https://kumparan.com/aditya-rizky-nugroho-1700193202977337283/terperangkap-di-la-bouche-de-la-loi-22NQ4TFeyMo

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations